16 Kasus HAM Berat, Kapan Selesai?
Penyelesaian kasus HAM berat di Indonesia selalu bertele-tele. Kurangnya komitmen pihak-pihak tertentu dalam menyelesaikan kasus, sistem hukum yang kurang memadai untuk mengadili pelaku, hingga proses politik sarat kepentingan menjadi hambatan-hambatan utama penuntasan kasus pelanggaran HAM.
Jakarta, Mata-Hukum — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia selalu menargetkan penyelesaian perkara pelanggaran HAM Berat sebagai prioritas. Namun sudah lebih sepuluh tahun dan melewati beberapa pengurus, kasus-kasus tersebut masih terbengkalai. Dari 16 perkara pelanggaran HAM berat baru satu kasus yang masuk pengadilan ad-hoc, yakni kasus Paniai, sekarang masuk wilayah Provinsi Papua Tengah.
Tragedi Paniai terjadi pada 8 Desember 2014.
Dalam peristiwa itu lima orang tewas ditembak serta ditikam dan 21 lainnya dianiaya aparat ketika warga melakukan aksi protes terkait pengeroyokan aparat TNI terhadap kelompok pemuda sehari sebelumnya. Mereka yang meninggal bernama Otianus Gobai (18), Simon Degei (18), Yulian Yeimo (17), Abia Gobay (17) dan Alfius Youw (17).
Penetapan peristiwa ini sebagai pelanggaran HAM berat baru terjadi pada Februari 2020 –empat tahun setelah peristiwa terjadi– setelah Komnas HAM menyelesaikan penyelidikan. Komnas HAM menduga anggota TNI yang bertugas pada peristiwa tersebut, baik dalam struktur komando Kodam XVII/Cendrawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai, sebagai pelaku yang bertanggung jawab.
Kejaksaan Agung baru menindaklanjutinya dengan penyidikan pro justisia pada Desember 2021 dan mengklaim telah memeriksa 7 warga sipil, 18 orang dari kepolisian, 25 orang dari unsur TNI, serta 6 pakar selama 4 bulan. Penyidikan ini dinilai kurang transparan oleh pengamat HAM dan keluarga korban sebab Kejaksaan Agung tidak melibatkan penyidik ad hoc dari unsur masyarakat.
Ini kejanggalan pertama.
Kejanggalan kedua adalah penetapan tersangka yang hanya satu orang, yang kemudian diseret ke pengadilan HAM sebagai terdakwa yaitu Mayor Inf. (Purn) Isak Sattu.
Isak saat kejadian itu merupakan Perwira Penghubung (Pabung) Komando Distrik Militer (Kodim) 1705/Paniai sekaligus perwira dengan pangkat tertinggi yang mempunyai tugas mengoordinasikan kegiatan-kegiatan Danramil yang berada dalam wilayah koordinasinya termasuk Koramil 1705-02/Enarotali.
Di Peradilan HAM yang digelar di PN Makassar ini, Isak Sattu didakwa melanggar Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 dan atau Pasal 42 ayat 1 huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 UU Pengadilan HAM.
Esensi suatu perkara yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat adalah tindakan tersebut bersifat sistematis dan meluas. Kedua hal tersebut merupakan kata kunci yang bersifat melekat dan mutlak dan harus ada pada setiap tindakan pelanggaran HAM berat, khusus kaitannya dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Unsur sistematis dan meluas tersebut merupakan faktor penting dan signifikan yang membedakan antara pelanggaran HAM berat dengan tindak pidana biasa menurut KUHP atau perundang-undangan pidana lainnya.
Dalam Statuta Roma, sistematik dan meluas disebut dengan istilah widespread and sistematic attack, di mana serangan tersebut ditujukan langsung pada penduduk sipil.
Sehingga menjadi janggal jika pelanggaran yang dikategorikan sistematis dan meluas itu hanya mendakwa satu orang. Di mana unsur sistematis dan meluasnya?
Minim Komitmen
Penyelesaian kasus HAM berat di Indonesia selalu bertele-tele. Kurangnya komitmen pihak-pihak tertentu dalam menyelesaikan kasus, sistem hukum yang kurang memadai untuk mengadili pelaku, hingga proses politik sarat kepentingan menjadi hambatan-hambatan utama penuntasan kasus pelanggaran HAM.
Relasi kuasa pihak-pihak yang berkuasa seringkali lebih kuat hingga menempatkan kepentingan politik di atas kemanusiaan, sementara pelanggaran HAM terus terjadi, dan semakin banyak korban menderita.
Di Indonesia, bolak-balik pengembalian berkas antara Komnas HAM (penyelidik) dan Jaksa Agung (penyidik dan penuntut), menjadi penghambat penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Kejaksaan Agung kerap menyebut kurangnya bukti dalam penyelidikan, bahkan hilangnya dokumen investigasi, sebagai faktor yang menghambat penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Selain itu, beberapa terduga pelaku pelanggaran HAM berat malah menjadi pejabat pemerintah. Padahal, pelaku atau terduga pelaku tidak seharusnya terlibat aktif dalam menentukan kebijakan publik. Misalnya, jika mereka memanipulasi penegakan hukum untuk menguntungkan mereka atau membuat mereka bisa lolos dari hukuman, mereka jadi sulit dihukum.
Masih ada 15 kasus pelanggaran HAM berat yang belum masuk pengadilan. Komitmen Komnas HAM memang wajar dipertanyakan. Apakah mereka benar-benar serius menjalankan amanat korban HAM berat untuk mendapat keadilan atau hanya menjadi job seeker, sekadar menikmati posisi komisioner?
aii/cnn/jotz