Kompolnas: Reformasi di Tubuh Polri Bukan Stagnan tapi Maju Mundur

Komisioner Kompolnas Albertus Wahyurudhanto . (istimewa)
“Junimart Girsang, Kompolnas perlu memiliki UU khusus agar dapat mengawasi dan menindak Polri secara optimal”
Mata-Hukum, Jakarta – Banyak kalangan bersuara mengenai reformasi ditubuh Polri, mulai dari Polri dibawah Kementerian, revisi terbatas undang undang Polri serta memperkuat Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dengan cara membuat UU nya tersendiri. Menaggapi terkait persoalan reformasi ditubuh Korps Bhayangkara itu, Komisioner Kompolnas Albertus Wahyurudhanto menjelaskan bahwa reformasi Polri saat ini tidak stagnan tetapi hanya maju mundur saja. Hal itu disampaikan oleh Komisioner Kompolnas Dr. Albertus Wahyurudhanto, M.Si, saat berbincang dengan Mata-Hukum di Kantornya di Komplek Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK), Jakarta, Jumat 21 Oktober 2022.
Dalam kesempatan tersebut wahyu memaparkan bahwa reformasi Polri itu dimulai dari Berdasarkan Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 itu pun Gus Dur merealisasikan pemisahan secara tegas antara TNI dan Polri lewat Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 2000. Keppres tersebut menyatakan, Polri berkedudukan langsung di bawah presiden. Presiden juga yang menunjuk Kapolri dengan persetujuan DPR. Seperti yang kita ketahui bersama sebelum menjadi institusi yang terpisah seperti saat ini, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian RI (Polri) sempat bersama-sama dalam rentang waktu cukup lama tergabung dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pembentukan organisasi angkatan perang dan kepolisian itu terjadi pada 1962. ABRI dipimpin oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Panglima Angkatan Bersenjata. Menhankam Pangab membawahi empat institusi, yaitu TNI Angkatan Darat (TNI AD), TNI Angkatan Laut (TNI AL), TNI Angkatan Udara (TNI AU), dan kepolisian.

“Namun di era Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) berdasarkan Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 itu Gus Dur merealisasikan pemisahan secara tegas antara TNI dan Polri lewat Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 2000. Keppres tersebut menyatakan, Polri berkedudukan langsung di bawah presiden. Presiden juga yang menunjuk Kapolri dengan persetujuan DPR,” ungkapnya
Namun reformasi Polri lanjut Wahyu mulai direncanakan ditahun 2005. Dalam rencana itu kata Dosen STIK tersebut, ada 3 aspek yaitu; pertama reformasi bidang instrumental, reformasi bidang spiritual dan yang ketiga refomasi bidang kultural.
“Terkait reformasi instrumental, itu mencakup beberapa hal terkait dengan doktrin tentang Tribrata, Catur Prasetya, dan berbabagi macam Standar Operasional Prosedur (SOP). Nah reformasi bidang instrumental ini sepertinya berjalan, secara gradual ini berjalan dengan baik,” paparnya
Kemudian kata Wahyu, reformasi bidang struktural juga mulai berjalan dan penataan organisasinya berjalan. Seperti kalau ada yang kurang ditambah kalau ada yang tidak pas dirubah dan sebagainya. Hal itu beber anggota Kompolnas itu mulai dari peraturan Presiden (Perpres) nomor 52 Tahun 2010, yang mengatur mengenai susunan organisasi dan tata kerja Polri. Terus lahir Perpres nomor 89 Tahun 2015, yang mengatur mengenai tunjangan kinerja pegawai di lingkungan Polri.
“Ada juga Perpres no. 5 Tahun 2017 tentang perubahan atas Perpres nomor 52 Tahun 2010 tentang susunan organisasi dan tata kerja Polri. Dan yang terbaru yaitu Perpres nomor 54 Tahun 2022 tentang perubahan kedua atas Perpres Nomor 52 Tahun 2010 tentang susunan organisasi dan tata kerja Polri. Semua ini saya rasa berjalan dengan baik,” tuturnya
Kemudian beber Wahyu, justru direformasi yang ketiga ini yang masih menjadi problem. Karena kata dia, reformasi bidang kultural ini sampai sekarang belum tuntas. “Reformasi kultural ini kalau menurut saya bukan stagnan tapi maju mundur,” jelas Wahyu
Ya kultural ini lebih pada mindset, yaitu pola pikir untuk selalu mengembangkan diri menjadi pribadi yang lebih baik sehingga memiliki tingkat resiliensi yang tinggi. “Saya kira hal itualh yang menjadi tolak ukurnya. Ketika saya menyimak saat pidato pengarahan Bapak Presiden itu ada beberapa hal, diantaranya yang berkaitan dengan kultural. Itu ada beberapa kritik terhadap Polri, diantaranya soal pungutan liar (pungli), terus soal diskriminasi, dan soal kesewenang wenangan dan terakhir soal gaya hidup mewah. Itu pidato pengarahan Pa Presiden,” tutup Wahyu
Suara dari kalangan DPR RI terkait reformasi Polri

Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersuara mengenai lemahnya pengawasan didalam institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Oleh karena itu berbagai usulan muncul, mulai dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) perlu punya undanh undang (UU) khusus untuk pengawasan Polri sampai revisi terbatas terhadap UU Polri demi menguatkan peran Kompolnas.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang mengatakan Kompolnas perlu memiliki UU khusus agar dapat mengawasi dan menindak Polri secara optimal. Politisi PDI Perjuangan itu menjelaskan, bahwa tugas dan fungsi yang dijalankan Kompolnas saat ini hanya bersifat pengawasan. Junimart kemudian membandingkan wewenang Kompolnas dengan Komisi Yudisial karena punya wewenang untuk memberi rekomendasi sanksi terhadap hakim yang melanggar aturan.
“Harus ada UU khusus untuk Kompolnas seperti Komisi Yudisial. Dia [KY] bisa mandiri dan memberikan sanksi, sementara Kompolnas kan tidak bisa. Fungsinya hanya pengawasan saja,” kata Junimart dalam diskusi daring, Kamis 25 Agustus 2022 lalu.
Pernyataan itu muncul karena Junimart menyoroti Kompolnas yang tidak memiliki ruang gerak yang luas selain melakukan pengawasan dan memberikan rekomendasi. Di sisi lain, Anggota DPR dari Fraksi PDIP itu juga menekankan pentingnya melakukan evaluasi terhadap Perpres Nomor 52 Tahun 2010 yang kini telah diperbarui menjadi Perpres Nomor 5 Tahun 2017.
Junimart mengatakan adanya Perpres tersebut semakin memperluas kekuasaan dan kewenangan Polri. Hal itu, kata dia, mengakibatkan Polri menjadi kelabakan dalam menjalankan fungsinya. Ia kemudian mengusulkan alternatif untuk kembali menggunakan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai acuan utama. Dengan demikian, Junimart menilai Polri dapat bekerja secara maksimal. “Kalau kembali pada UU Nomor 2 Tahun 2002 tanpa adanya Perpres, maka menurut saya Polri bisa bekerja secara maksimal,” kata Junimart.
Sejumlah usulan tersebut bertalian dengan perkembangan kasus kematian Brigadir J yang mengekspos situasi di internal Polri. Kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua Hutabarat itu juga menjadi sorotan publik berkat media sosial. Junimart mengibaratkan kasus yang menjerat eks Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo itu sebagai ‘peradilan medsos’. Ia pun menyinggung peristiwa tersebut sebagai tamparan bagi Polri dan berbagai pihak yang terlibat di dalamnya.
Medsos disebut Junimart sebagai alat pengawas yang lebih optimal dalam menyoroti kasus penembakan Brigadir J. Ia juga mengakui perbincangan warganet di media sosial merupakan bagian penting dalam pengungkapan kasus Sambo, sekaligus refleksi bagi penegak hukum. “Sekarang yang mengawasi Polri kan medsos. Ini kan menjadi tamparan kepada kita-kita ini, sebagai bagian dari yang kerja untuk bangsa dan negara,” tutur Junimart.
Bayangkan lanjut anggota DPR yang berlatar belakang pengacara itu, peradilan medsos bisa mengungkap kejadian FS, ini kan sangat menggelitik. Bagaimana kalau seandainya tidak ada medsos, itu diam saja
Sementara anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menyampaikan usulan untuk merevisi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Ia menyampaikan, revisi ini mesti dilakukan untuk memperkuat peran Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). “Hemat saya agar Kompolnas lebih diberdayakan, (agar) keberadaannya (bukan) ada tidak menggenapkan, (tapi) tidak ada tidak mengganjilkan,” tutur Arsul dalam rapat dengar pendapat Komisi III DPR bersama Kompolnas di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin 22 Agustus 2022 lalu.

Ia mengatakan, wacana revisi tersebut mesti dipikirkan usai terjadinya dugaan pembunuhan berencana Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J. Arsul berharap nantinya pembenahan di internal Kompolnas bisa dilakukan. “Diharapkan ke depan, Kompolnas diisi oleh, tentu, (pihak) di luar jajaran Polri aktif,” ucap dia. Lebih lanjut, Arsul menyarankan agar Kompolnas dijadikan mitra tetap Komisi III DPR. “Agar pengawasan kita pada Polri di masa depan lebih ekstensif, lebih komprehensif, maka saya usul agar Kompolnas bisa ditambah jadi mitra Komisi III,” ujarnya.