3 Ahli, Reza Indragiri, Franz Magnis Suseno dan Liza Marielly Hadir Dalam Persidangan Ringankan ‘Dosa’ Richard Eliezer

0

“Bikin Kubu Sambo Ketar-ketir, Saksi Ahli Franz Magnis Suseno Bongkar 3 Poin Ringankan ‘Dosa’ Richard Eliezer”

Dari kiri, Mantan Kadiv Propam Polri, Irjen Pol Ferdy Sambo, Putri Candrawathi dan Brigadir Yosua. (istimewa)

Mata-Hukum, Jakarta – Kubu Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu menghadirkan sejumlah saksi ahli di persidangan hari Senin 26 Desember 2022.

Dua di antaranya merupakan ahli psikologi. Sementara itu, satu ahli lainnya merupakan ahli dalam bidang filsafat moral. Adapun, ketiga ahli itu antara lain:

Reza Indragiri Amriel. (Istimewa)
  1. Prof. em. Dr. Romo Frans Magnis-Suseno SJ. (Guru Besar Filsafat Moral)
  2. Liza Marielly Djaprie, S.Psi., M.Psi., CH. (Psikolog Klinik Dewasa)
  3. DR. Reza Indragiri Amriel, M. Crim. (Psikolog Forensik)

Salah satu ahli yaitu guru besar filsafat moral Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis Suseno memberikan keterangan ahlinya.

Franz Magnis, yang merupakan pengajar kelompok mata kuliah filsafat moral dan politik, memberikan sejumlah pandangannya terkait status Eliezer yang mengaku tidak mampu menolak perintah mantan atasannya, Ferdy Sambo, yang kini juga menjadi terdakwa untuk kasus pembunuhan berencana Brigadir J.

Romo Magnis menilai ada dua poin utama yang menurutnya dapat meringankan kesalahan Eliezer di tragedi 8 Juli 2022 di rumah dinas matan Kadiv Propam Polri, Irjen Pol Ferdy Sambo ersebut.

“Yang paling meringankan adalah kedudukan yang memberi perintah itu. Kedudukan yang lebih tinggi, yang jelas berhak memberi perintah, setahu saya, di dalam kepolisian tentu akan ditaati,” kata Magnis Suseno.

Ahli filsafat moral, Franz Magnis-Suseno atau Romo Magnis, menjelaskan mengenai etika normatif dalam persidangan kasus Yosua, dengan terdakwa Bharada Richard Eliezer di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. (Suara.com/Rakha)


Menurut Romo Magnis, kepolisian memiliki budaya untuk selalu melaksanakan perintah atasannya. Apalagi ditambah dengan Eliezer yang masih berusia 24 tahun dan merupakan polisi muda dengan minim pengalaman.

“Eliezer masih 24 tahun, masih muda, tentu akan laksanakan. Ada budaya laksanakan, itu adalah unsur yang paling kuat,” jelasnya menambahkan.

Guru besar dari STF Driyarkara itu kemudian menyoroti keterbatasan waktu ketika penembakan terjadi.

Menurut Romo Magnis, waktu yang singkat ditambah situasi genting membuat Eliezer tidak mampu mengambil keputusan dengan kepala dingin.

“Yang kedua, tentu keterbatasan situasi. Itu situasi yang tegang, yang amat sangat membingungkan, di mana saat itu dia harus segera menentukan akan melaksanakan atau tidak,” terang Romo Magnis.

“Tidak ada waktu untuk melakukan suatu pertimbangan matang, di mana kita umumnya suka mengambil waktu tidur dulu, yang jelas (tidak bisa dilakukan) sehingga dia harus langsung bereaksi. Menurut saya itu dua faktor yang secara etis sangat meringankan,” lanjutnya.


Lalu poin terakhir yang disorot Romo Magnis adalah perintah Sambo kepada Eliezer. Romo Magnis menilai memang ada perintah tembak dari atasan ke bawahan di institusi kepolisian selayaknya lembaga kemiliteran.

Ahli filsafat moral, Franz Magnis-Suseno. (Istimewa)

“Dalam kepolisian, seperti di dalam situasi pertempuran militer, memang bisa ada situasi di mana atasan memberi perintah tembak. Itu di dalam segala profesi lain, bahwa seorang atasan di kepolisian memberi perintah tembak itu tidak total, sama sekali, tidak masuk akal,” kata Romo Magnis.

Romo Magnis menegaskan perintah yang sama memang tidak berlaku untuk masyarakat sipil. “Tapi di polisi itu lain, karena atasannya dia dalam situasi tertentu bisa memberikan (arahan tembak), berarti juga resistensi di dalam yang menerima perintah itu lebih lemah,” tandas Romo Magnis.

Psikolog Klinis: Richard Eliezer Orangnya Nurut dan Cenderung Hindari Konflik

Sementara Ahli psikologi klinis, Liza Marielly Djaprie, menyebut Richard Eliezer sebagai seorang yang penurut. Pribadi Eliezer juga dinilai cenderung menghindari konflik.
Hal itu diungkapkan Liza saat dihadirkan sebagai ahli oleh pihak Eliezer dalam sidang lanjutan pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin 26 Desember 2022.
Liza merupakan psikolog yang dari awal mendampingi Eliezer sejak pemeriksaan. Ia juga melakukan interview dengan keluarga Eliezer.
Dari penggalian yang dilakukan, Liza mendapati kesimpulan bahwa terdakwa Eliezer, sebagai anak kedua dari dua bersaudara, cenderung sebagai orang penurut dan menghindari konflik.

Eliezer dinilai memiliki tingkat kepatuhan terhadap lingkungan sekitar. Kesimpulan itu didapatkan Liza dari tes yang dilakukan lewat MNPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory). Dari tes itu pula didapatkan karakter Eliezer itu terjadi karena beberapa faktor.

Ahli psikologi klinis, Liza Marielly Djaprie. (Istimewa)


“Yang menyebabkan Richard Eliezer tumbuh menjadi individu yang patuh sebenarnya saya tidak melihat itu dari diskusi dengan orang tua, dari diskusi dengan Richard juga. Tapi yang terjadi lebih kepada hasil pertama karakternya Richard yang memang lebih permisif dan lebih menghindari konflik,” kata Liza.

Yang kedua, observasinya dia pada lingkungan. Jadi kalau slide pertama ada proses analisa, ada proses dia melihat melalui panca inderanya kondisi lingkungannya seperti apa. Richard melihat kakaknya jauh lebih nakal. Jadi dia cenderung untuk karena kakaknya sudah nakal, ‘aku jadi anak yang baik deh, kasian Papah-Mamah’. Itu dia terlatih untuk menjadi individu yang patuh,” jelas Liza.
“Kemudian dari sisi agama juga dia cenderung banyak mendengar bahwa anak patuh pada orang tua. Jadi itu semakin terasa, bibitnya sudah ada. Tapi kemudian itu semakin terasa dalam pengalaman dia sehari-hari,” sambung Liza.
Penjelasan Liza itu lalu digali oleh pengacara Eliezer, Ronny Talapessy:

“Richard Eliezer memiliki kecenderungan untuk patuh pada lingkungan sekitar. Bisa dijelaskan proses psikologis yang terjadi hingga seseorang menjadi seperti ini?” tanya kuasa hukum Eliezer, Ronny Talapessy.

“Kalau kita berbicara mengenai kepatuhan, kepatuhan itu juga salah satu construct dalam ilmu psikologi. Ini adalah satu bentuk pengaruh sosial yang menyebabkan orang lain mau melakukan suatu hal atau beragam tindakan dikarenakan kepatuhannya pada orang lain yang dirasa lebih punya kuasa,” terang Liza.
“Jadi kita harus membedakan kepatuhan dengan konformitas. Kalo konformitas itu melibatkan permintaan kalo kepatuhan itu biasanya melibatkan perintah. Berikutnya konformitas biasanya lebih kepada bagaimana kita menyesuaikan diri dengan lingkungan, tapi kepatuhan lebih kepada menggunakan unsur kekuatan karena kita takut, karena kita cemas, karena kita khawatir, makanya kita patuh. Jadi itu bentuk kebutuhan dalam bentuk psikologi,” lanjut Liza.
“Bagaimana dengan tingkat kepatuhan Richard?” tanya Ronny mempertegas.

“Kalo dari Richard Eliezer dari hasil tesnya saja, dia punya tingkat kepatuhan yang sangat tinggi. Jadi memang bisa diukur obedience seseorang, tingkat level kepatuhan dia pada lingkungan sekitarnya seperti apa, dan dari hasil tes tersebut terlihat Richard bahwa punya tingkat kepatuhan tinggi sehingga dia punya kerentanan khusus, kecenderungan tertentu untuk lebih patuh pada lingkungan. Itu dari sisi kepatuhan saja,” ungkap Eliezer.

Dalam kasus ini, Eliezer didakwa bersama-sama Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Ma’ruf, dan Ricky Rizal. Mereka didakwa melakukan pembunuhan berencana atas Yosua.
Dalam dakwaan Eliezer disebut turut menembak Yosua atas perintah Ferdy Sambo.
Atas perbuatannya, Eliezer serta Sambo dkk didakwa Pasal 338 KUHP atau 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, dengan ancaman hukuman maksimal mati.

Mantan Kadiv Propam Polri, Irjen Pol Ferdy Sambo bersama Istrinya Putri Candrawathi saat menjalani rekontruksi kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua. (Istimewa)

Dari berbagai sumber/matahukum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *