“Wakil Ketua LPSK: Sejauh ini yang paling rigid soal RJ itu Mahkamah Agung, sehingga agak sulit diotak-atik. Di kejaksaan agak lebih rigid karena mencantumkan pasal-pasal yang bisa direstorative justice dan aturan di Polri kemungkinan harus ditinjau ulang”
Mata-Hukum, Jakarta – Anggota Komisi Hukum (III) DPR, Adang Daradjatun, menyoroti praktik penyelesaian masalah hukum lewat restorative justice, atau pengampunan karena alasan subjektif hukum.
Dalam rapat bersama Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Hasto Atmojo, Adang menyebut saat ini ada kesempatan bagi masyarakat yang mampu untuk membeli restorative justice agar bebas.
“Saya mau minta pendapatnya nih LPSK sebaiknya, karena bagaimana pun juga menarik ya ‘yang memberikan kesempatan kepada masyarakat berkemampuan ekonomi tinggi untuk membeli keadilan’,” kata Adang dalam rapat di Gedung DPR, Senayan, Senin (16/1).
“Saya minta kedalaman, ini enggak main-main ya, karena saya lihat di lapangan ini restorative justice ini sudah mulai jual-menjual,” lanjut politikus PKS itu.
Merespons itu, Wakil Ketua LPSK Erwin Patogi mengakui adanya masalah dalam restorative justice. Sebab, kata dia, aturan dalam setiap lembaga penegak hukum berbeda-beda.
“Apa yang disampaikan Pak Adang kami sepenuhnya sepaham, Pak, bahwa memang ada problem di pelaksanaan restorative justice ini. Karena aturan di setiap lembaga ini berbeda-beda, antara standar Polri, Kejaksaan, maupun Mahkamah Agung,” kata dia.
Erwin menuturkan MA memiliki aturan yang paling rinci terkait restorative justice. Sementara itu, kata dia, aturan di Polri kemungkinan harus ditinjau ulang.
“Sejauh ini yang paling rigid adalah Mahkamah Agung, paling rigid soal RJ itu Mahkamah Agung, sehingga agak sulit diotak-atik. Di kejaksaan agak lebih rigid karena mencantumkan pasal-pasal yang bisa direstorative justice,” kata dia.
“Namun, di kepolisan mungkin perlu ditinjau ulang. Pada praktiknya kami perhatikan, yang punya inisiatif RJ itu biasanya dari pelaku, dan kemudian berkomunikasi dengan APH (aparat penegak hukum) dan kemudian ke korbannya untuk kemudian mengikuti kemauan tersebut,” lanjutnya.
Dia mencontohkan dalam praktiknya restorative justice seringnya lebih menguntungkan pelaku. Seperti kasus pemerkosaan pegawai Kemenkop pada Desember tahun 2019.
“(Tahun) 2020, 5 atau empat orang di antaranya ditahan, ditetapkan sebagai tersangka. Pada Maret 2020, pelakunya dibebaskan dengan alasan restorative justice, satu pelakunya yang masih lajang dinikahkan dengan korban,” tutur Erwin.