“Dalam kuliah hukum kita diajarkan hukum itu sebagai panglima, namu sekarang berbalik uang jadi panglima. Sebab hukum dijadikan alat untuk mencari uang”
Mata-Hukum, Jakarta – -Sejumlah pihak menyebut operasi tangkap tangan atau OTT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Hakim Agung Sudrajad Dimyati jadi bukti adanya mafia peradilan. Dimyati ditetapkan sebagai tersangka bersama 9 orang lainnya dalam kasus dugaan suap pengurusan perkara Koperasi Simpan Pinjam atau KSP Intidana. Total uang yang diamankan KPK dalam OTT yang digelar Rabu, 21 September 2022 yaitu Rp 2,2 miliar.
Terkait hal itu, anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman menyebut mafia peradilan memang nyata ada di Indonesia. Menurutnya, harus dengan terbuka diakui bahwa dalam 10 tahun terakhir lembaga peradilan jadi ladang subur transaksi hukum. Benny menyebut, selama satu dekade ini hukum dan keadilan diperjualbelikan serta kewenangan diperdagangkan.
“Hukum dan keadilan diperjualbelikan, kewenangan diperdagangkan, apa yang disebut orang tentang mafia peradilan memang nyata adanya,” ucap Benny kepada wartawan, Jumat, 23 September 2022.
Menurut Benny, dewasa ini lembaga penegak hukum telah berubah menjadi lembaga perusak hukum. Tidak ada ketertiban yang menyebabkan konsep Indonesia sebagai negara hukum menjadi gagal. Bahkan menurutmu Indonesia terancam masuk kategori failed state dalam hal penegakan hukum. “Negara kita sangat lemah dalam hal penegakan hukum,” kata dia.
Benarkah tertangkapnya Hakim Agung Dimyati itu menunjukkan mafia peradilan kian benderang?
terkait mafia peradilan, Adi Warman selaku Tim Ahli Dewan Pertimbangan Presiden (Wantipres) berpendapat bahwa mafia peradilan dan mafia hukum nyata adanya di negeri kita saat ini.
“Dalam kuliah hukum kita diajarkan bahwa hukum itu sebagai panglima, namu sekarang berbalik uang jadi panglima. Sebab diindustrial hukum, hukum itu dijadikan alat untuk mencari uang, ngeri negeri kita ini,” ungkap Adi Warman saat berbincang dengan Mata-Hukum pada Jumat 30 September di kantronya Grand Slipi Tower, Jakarta.
Saya mencermati pernyataan pernyataan pa Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD tentang adanya mafia hukum didunia peradilan. Harusnya pa Menkopolhukam bertindak bukan hanya berbicara saja. Karena lembaga penegak hukum ada dibawah koordinasi Menkopolhukam. Seperti Kepolisian, Kejaksaan, lembaga peradilan dan Kementerian Hukum dan Ham. Kalau mau serius berbenah ya harus dengan jalan revolusi di bidang hukum. Dan itu harus dilakukan oleh pemerintah dibawah Kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf.
Saking seremnya terjadinya mafia hokum saat ini bagi perkara perkara besar hamper bisa dipastikan terjadi kolaborasi antar penegak hokum yaitu polisi, jaksa dan hakim. Namun kalau perkara perkara kecil terjadi hanya dalam lingkup satu lembaga saja, kalau polisi ya hanya dalam lingkup penyidik, begitu pula di kejaksaan dan hakim.
Jadi kata Adi Warman, kalau beres persoalan hokum di negeri kita ini, ya harus revolusi hokum, kalau hanya reformasi saja tidak akan maksimal hasilnya. Saya syarankan revolusi hokum. Caranya, beber Adi Warman, pertama evaluasi lembaga lembaga penegak hokum. Contoh lembaga Kepolisian, bagai tugas pokok dan fungsi kepolisian, melayani, melindungi dan mengayomi serta penegakan hokum.
Nah saya usul Bareskrim dipisahkan dari Polri, karena bareskrim yang paling menjadi sorotan public. Dirikan Badan Penyelidik, Penyidik Nasional. Sehingga lembaga Bareskrim tidak lagi bisa diintervensi dari dalam lembaganya sendiri yaitu pejabat pejabat Polri. Dan lembaga baru sejajar dengan Kejaksaan Agung, langsung bertanggung kepada Presiden.