“Bareskrim paling banyak menjadi sorotan publik, karena disitulah dianggap “tempat basah, tempat jual beli perkara dan sebagainaya”
Mata-Hukum, Jakarta – Akhir akhir ini banyak kalangan bersuara tetang reformasi ditubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Tidak bisa dipungkiri, pasca terjadinya kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J Nofriansyah Yosua Hutabarat yang melibatkan mantan Kepala Divisi Propam Polri, Irjen Pol. Ferdy Sambo. Bagaimana mungkin publik tak bersuara, begitu banyak personil polri yang terlibat dalam kasus pembunuhan berencana tersebut.
Sangat mencengangkan ketika Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengungkapkan sudah ada 97 anggota polisi yang diperiksa terkait penanganan dugaan kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir Yosua atau Brigadir J di rumah Irjen Ferdy Sambo, Jakarta.
Hal tersebut diungkapkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat menghadiri rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI, Jakarta, Rabu 24 Agustus 2022 lalu.
Dari jumlah itu, kata Jenderal Listyo Sigit Prabowo, sebanyak 35 orang diantaranya terbukti melanggar kode etik profesi. Adapun 4 orang diantaranya merupakan perwira tinggi Polri. Jenderal Listyo Sigit Prabowo menuturkan bahwa ada 18 anggota polisi yang juga harus ditahan di tempat khusus (patsus).
Terkait situasi Polri saat ini, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md menilai perlu ada reformasi kultural di tubuh Polri. Dia mengatakan reformasi kultural di kepolisian berjalan stagnan, bahkan mengalami kemunduran.
“Polisi ke depan harus memiliki sifat profesional, humanis, dan menghormati Hak Asasi Manusia. Moralitas anggota Polri perlu diubah, terutama terkait hedonisme dan tindak kesewenang-wenangan yang kerap ditunjukkan,” kata Mahfud di Jakarta, Selasa, 20 September 2022 lalu.
Beda dengan pandangan Menkopolhukam, Adi Warman selaku Tim Ahli Dewan Pertimbangan Presiden (Wantipres) mengungkapkan kalau mau serius reformasi di tubuh Korps Bhayangkara itu harus dimulai dengan memperbaiki undang undang (UU) Polri. Hal itu disampaikan Adi Warman saat berbincang dengan Mata-Hukum di kantornya Grand Slipi Tower, Jakarta, Jumat 30 September 2022. “Kalau UU Polri sudah kita perbaiki dalam artian mari kita melihat dimana sisi kelemahanya, fungsi serta tugas tugas Polri apa saja,” kata Adi
Adi Warman yang juga menjabat Sekretaris Dewan Penasehat DPN Peradi itu menjelaskan bahwa kalau UU Polri mau kita perbaiki, kita harus melihat tugas tugas pokok Polri itu apa saja sih. Kalau menurut UU Polri yang berlaku saat ini, tugas pokok Polri yaitu; melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. “Polri juga bukan sekedar menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat tetapi juga ada penegakan hukum, untuk sisi penegakan hukum ini, mayoritas diemban oleh Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri),” jelas Adi
Saat ini lanjut Adi, Bareskrim paling banyak menjadi sorotan publik, karena disitulah dianggap “tempat basah, tempat jual beli perkara dan sebagainaya” dan juga adanya intervensi dari satuan kerja (Satker) lain dilingkungan internal Polri dalam hal penegakan hukum itu tadi. Hal itu menjadi penyebab penyidik mulai dari Bareskrim sampai ketingkat Polsek itu tidak mandiri.
“Saya melihat penyidik mulai dari bareskrim sampai ke tingkat paling bawah yaitu Polsek tidak mandiri, Karen sering kali diintervensi oleh satker satker lain diinternal Polri itu sendiri, hal itu membuat penyidik Polri tidak independen,” beber Adi Warman
Dalam arti jelas Adi Warman, ketika ada intervensi dari satker lain, seorang penyidik akan patuh kepada pejabat yang lebih tinggi darinya. Apalagi yang intervensi itu seorang perwira tinggi (Jenderal). “Ini adalah fakta dan menjadi persoalan utama ketidak independensinya penyidik Polri,” tutupnya