Anatomi Korupsi Heli AW-101
Jakarta, Mata-Hukum — Seperti barang tak bertuan. Sebuah helikopter canggih produksi patungan pabrikan Itali dan Ingggris, AgustaWestland, AW-101, nongkrong di hanggar Skuadron Teknik (Skatek) 021, Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Meski sudah dicat motif loreng, diberi logo TNI AU dan nomor ekor H-1001. Tapi statusnya masih menganggur dan belum diserahterimakan kepada pemesannya, yaitu TNI AU, sejak dikirim dari pabrikannya di Inggris pada 30 Januari 2017.
Kehandalan helikopter sebetulnya tidak diragukan lagi, karena dipakai oleh Angkatan Laut dan Angkatan Udara Inggris. Di Amerika Serikat, varian dari AW-101 ini bernama VH-71 Kestrel yang diproduksi oleh Lockheed Martin bersama AgustaWestland dan Bell. Helikopter ini tahun 2005 diusulkan menjadi pengganti helikopter kepresidenan “Marine One” (jenis Sikorsky SH-3 Sea King). Tapi program tersebut dibatalkan tahun 2009, karena dianggap terlalu mahal. Kabarnya, harga helikopter ini setelah diberi fasilitas-fasilitas pendukung sampai melebihi harga pesawat jet kepresidenan “Air Force One”.
Nah, helikopter sekelas itulah yang sekarang menjadi objek penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Adalah Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto dan Ketua KPK Agus Rahardjo yang mengumumkan adanya dugaan korupsi dalam pengadaan helikopter ini di Gedung KPK pada 26 Mei 2017.
Waktu itu Panglima TNI menyatakan setelah mengevaluasi laporan dari KSAU, KPK, BPK dan PPATK, ditemukan potensi kerugian negara sebesar Rp 220 miliar dari harga pembelian helikopter seharga Rp 738 miliar. Beberapa barang bukti sudah diserahkan. Bahkan Gatot telah memblokir rekening atas nama PT Diratama Jaya Mandiri (perusahaan pemasok AW-101) yang berisi dana sebesar Rp 136 miliar di Bank BRI. Uang sebanyak itu bisa jadi adalah sisa pembayaran (tahap II) yang seharus diserahkan TNI AU sebagai syarat serah terima pesawat itu dari pabrikan.
Menurut KPK, konstruksi kasus ini berawal dari pengadaan satu unit Heli AW-101 oleh TNI AU. Kemudian dilakukan pelelangan oleh pihak TNI AU terhadap pengadaan heli tersebut. Dalam pelelangan terdapat dua perusahaan yang mengikuti tender yakni, PT Karya Cipta Gemilang dan PT Diratama Jaya Mandiri. Hasil penyelidikan KPK, lelang ini sudah diatur oleh IKS. Dia sudah menentukan yang menang PT DJM.
Skenario ini sudah dirancang sejak awal.
Sebelumnya Irfan Kurnia Saleh selaku Presdir PT DJM telah melakukan kesepakatan kontrak dengan pihak Agusta Westland selaku produsen AW-101 dengan nilai Rp 514 miliar. Lalu lewat lelang ‘khusus’, PT DJM kemudian memenangkan tender di TNI AU dengan nilai kontrak Rp 738 miliar. Akibatnya terjadi kerugian negara sekitar Rp 224 miliar.
Tapi apakah benar konstruksi perkara ini sesederhana seperti yang diungkap oleh KPK? Bagaimana caranya suatu kongkalikong korupsi terjadi dalam mekanisme pengadaan alat utama sistem kesenjataan (alustsita) TNI yang selama ini begitu kompleks dan diawasi secara berjenjang, mulai dari Mabes AU, Mabes TNI, Kementerian Pertahanan, Bappenas, Kementerian Keuangan dan DPR, bisa begitu mudah dikorupsi hingga mencapai Rp 220 miliar atau sekitar 30% dari nilai barang (Rp 738 miliar)?
Jika ini merupakan kasus korupsi murni seharusnya banyak yang terlibat di dalamnya. Pasalnya, pengadaan helikopter ini bukan sebatas pada orang-orang yang dijadikan tersangka sementara ini. Pasti ada petinggi-petinggi yang terlibat.
It takes two to tango. Tak mungkin sendirian menari tango. Begitu ibarat permainan korupsi. Tidak bisa dilakukan sendirian. Makin besar korupsi makin banyak yang bermain.
Asal-usul Pengadaan AW-101
Sejatinya, helikopter bermasalah yang nongkrong di Halim tersebut adalah pesanan dari Presiden Jokowi. Menurut sebuah sumber, pada Maret 2015, dalam suatu pertemuan di Istana Negara antara Presiden Jokowi dengan Panglima TNI (masih dijabat Jenderal TNI Moeldoko), dan para kepala staf angkatan, KSAU (saat itu) Marsekal TNI Agus Supriatna memaparkan rencana moderenisasi alutsista TNI AU, yang merupakan bagian dari rencana strategis (renstra) TNI AU periode 2015-2019. Salah satu hal yang dikemukakan adalah rencana pembelian satu skuadron (8 unit) helikopter AW-101, terdiri dari 6 heli angkut berat berat dan 2 heli angkut VIP/VVIP.
Menurut sumber, setelah mendengar paparan KSAU tersebut, Presiden Jokowi langsung menimpali agar KSAU menambahkan 1 unit lagi helikopter sejenis untuk helikopter kepresiden. Bahkan Presiden langsung memerintahkan Mensesneg yang juga hadir dalam pertemuan itu untuk menindaklanjutinya bersama KSAU.
Mengapa Mensesneg yang diperintahkan? Karena memang, pesawat jet Kepresidenan “Indonesia One” dari jenis Boeing 737-800, yang mulai beroperasi pada April 214, dibeli oleh Sekneg (terdaftar sebagai aset Sekneg). Yang mengoperasikan TNI AU dan perawatan dilakukan oleh Garuda Maintenance Facility.
Tidak ada yang membantah permintaan presiden saat itu. Semua sudah paham urgensi helikopter kepresidenan yang baru. Soalnya helikopter kepresidenan yang dipakai selama ini, Super Puma, adalah produksi tahun 1980. Selain terlalu tua, juga tidak ada heli cadangan yang memadai. Padahal, jika berpergian dengan helikopter, sesuai prosedur keamanan, helikopter kepresidenan yang ditumpangi presiden harus dikawal oleh dua helikopter lain. Fungsinya sebagai cadangan dan mengangkut rombongan presiden (paspampres atau pejabat lain). Masalahnya, di Skuadron 45 Lanud Halim, yang mengoperasikan pesawat VVIP dan Kepresidenan itu, hanya ada satu Super Puma yang dianggap betul-betul layak untuk dipakai oleh presiden.
Adanya perintah Presiden soal pengadaan helikopter kepresidenan tersebut juga terdokumentasi dalam Berita Acara Penelaahan Pemuktahiran Pagu Anggaran Rencana Kerja Anggaran Kementerian dan Lembaga (RKA K/L) Tahun Anggaran 2016 Kementerian Pertahanan dan TNI. Rapat penelaahan tersebut berlangsung hari Rabu tanggal 29 Juli 2015 di ruangan rapat Direktorat Anggaran Kementerian Keuangan. Rapat itu dihadiri perwakilan dari Direktorat Jenderal Rencana Pertahanan Kemenhan, Unit Organisasi Mabes TNI AD, Unit Organisasi Mabes TNI AU, Direktorat Pertahanan dan Keamanan Bappenas dan Direktorat Jenderal Anggaran Kemenkeu.
Hasil penelaahan waktu itu, pada poin 5 huruf b, pihak Kemenhan/TNI menyatakan bahwa pengadaan heli VVIP Presiden didasarkan pada direktif (perintah lisan) presiden tanggal 7 Juli 2015.
Lalu pada poin 6, pihak Bappenas menyampaikan bahwa anggaran prioritas Apache TNI AD telah sesuai dengan hasil trilateral meeting, namun untuk prioritas Heli VVIP Presiden masih diperlukan dasar hukum pengadaannya.
Yang dimaksud “direktif” presiden tanggal 7 Juli 2015 dalam dokumen itu adalah perintah langsung presiden kepada KSAU Agus Supriatna dalam pertemuan tanggal 7 Juli 2015. Jadi ada pertemuan lanjutan antaran KSAU dan Presiden setelah pertemuan Maret 2015.
Jika diurut asal usulnya, sejak awal ada 9 helikopter jenis AW-101 yang akan dibeli oleh Indonesia. Yang pertama, TNI AU akan membeli 8 heli AW-101, terdiri dari 6 heli angkut dan 2 heli VVIP. Karena pengadaan heli ini melalui pinjaman asing (kredit ekspor), maka sesuai mekanisme pengadaan alutsista yang berlaku, yaitu Peraturan Menhankam No. 28 Tahun 2015 yang mengurus adalah Menhankam sebagai Pengguna Anggaran (PA). Adapun KSAU berperan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
Belakangan, rencana pembelian 8 heli tersebut direvisi oleh Menhan melalui surat yang ditujukan kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas tertanggal 7 November 2016. Dua helikopter yang semula diperuntukkan untuk angkutan VIP/VVIP dijadikan heli angkut. Proses pengadaan 8 helikopter angkut TNI AU ini masih berjalan dengan deadline tahun 2019.
Yang kedua, adalah rencana pembelian 1 helikopter AW-101 melalui Sekneg dengan pembiayaan APBN. Pembelian heli untuk VVIP Kepresidenan inilah belakangan dipersoalkan ada unsur korupsinya.
Berdasarkan penelusuran, penganggaran pembelian pesawat AW-101 ini bersumber pada Surat Menteri Keuangan S-564/MK.02/2015 tanggal 27 Juli 2015 Tentang Pemutakhiran Pagu Kementerian Negara/Lembaga Tahun Anggaran 2016 yang ditujukan kepada seluruh kementerian dan lembaga.
Kemudian ada surat Kementerian Pertahanan No B/1266/18/05/5/Dirjen tanggal 28 Juli 2015 Tentang Pemutakhiran Pagu Anggaran Kemhan dan TNI TA 2016 yang ditujukan kepada seluruh unit organisasi TNI. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa pengadaan Helikopter VVIP Presiden sebesar Rp. 742.500.000.000.00 masuk sebagai tambahan penyesuaian anggaran prioritas.
Sebelumnya pada Surat Kemkeu No 288/MK.02/2015 dan Surat Bappenas No 082/M.PPN/04/2015 (Tentang Pagu Indikatif dan Rancangan Awal Rencana Kerja) dinyatakan bahwa TNI AU menerima Pagu Indikatif sebesar Rp 12.510.616.240.000, dan belum terdapat anggaran pengadaan Helikopter VVIP Presiden.
Karena belum dianggarkan KSAU mengajukan permohonan tambahan anggaran TNI AU kepada Panglima TNI, melalui Surat No R/22/VI/2015 tertanggal 29 Juni 2015 (Up Asrenum). Disebutkan bahwa pengadaan Heli AW-101 VIP/VVIP direncanakan sebanyak 3 unit melalui pendanaan Pinjaman Luar Negeri (PLN). Untuk menambah kemampuan dukungan kegiatan VIP/VVIP maka dibutuhkan penambahan 1 unit heli lagi melalui pembiayaan APBN sebesar Rp 742.500.000.000.
Atas dasar itu pula, KSAU mengirimkan surat kepada Menhan tertanggal 2 September 2015 melalui Surat No B/1606/IX/2015. Di situ disampaikan alasan penggantian dari heli sebelumnya (Super Puma NAS-332) dan harapan TNI AU bahwa heli VVIP pengganti dapat ditampilkan pada peringatan HUT TNI AU ke-70 pada tanggal 9 April 2016.
Selain itu KSAU juga mengajukan permohonan tambahan anggaran kepada Mensesneg melalui Surat No R/35/IX/2015 tertanggal 23 September 2015. Disebutkan bahwa TNI AU merencanakan pengadaan Heli AW-101 VIP/VVIP sebanyak 2 unit. Adapun bahwa sesuai standar yang berlaku dalam penerbangan VIP/VVIP adalah sebanyak 3 unit, sehingga diperlukan tambahan 1 unit dan untuk itu diajukan penambahan melalui anggaran Kementerian Sekretariat Negara sebesar Rp 829.500.000.000 (menggunakan kurs 1 USD = Rp. 15.000).
Sampai di situ proses pengadaan AW-101 masih berjalan sesuai rencana dan semua dokumen-dokumen tersebut menjadi dasar bagi Mabes TNI AU untuk melakukan pengadaan helikopter AW-101.
Mulainya Kekisruhan
Pada 17 November 2015, Komandan Lanud Halim Perdana Kusuma Marsekal Pertama Umar Sugeng memberikan pernyataan pers bahwa Presiden Jokowi akan memakai helikopter baru pada Hari Bhakti TNI AU 29 Juli 2016. Helikopter Super Puma akan digantikan heli AW-101. Pilihan baru yang lebih modern itu akan memberikan keamanan serta keselamatan Presiden atau Wakil Presiden saat kunjungan kerja ke pelosok daerah.
Masih menurut Danlanud Halim, rombongan penerbang dan teknisi TNI AU akan berangkat ke Perancis awal tahun 2016. Sehingga diharapkan pada Hari Bhakti TNI AU pada 29 Juli 2016 helikopter baru tersebut sudah dapat diperkenalkan dan dapat dioperasikan untuk kunjungan kerja Presiden dan Wapres.
Sekretaris Militer Presiden waktu itu, Marsekal Madya Hadi Tjahjanto, juga membenarkan bahwa Presiden dan Wapres akan menggunakan helikopter baru AW-101. Alasannya, Super Puma yang dipakai selama ini sudah lama sehingga perlu pembaruan untuk keamanan serta keselamatan Presiden dan Wapres saat ke pelosok daerah.
“Pengadaannya bukan oleh Sekretariat Negara ya, tetapi oleh TNI AU. Kami (Sesmilpres) hanya memakainya saja saat Presiden atau Wapres melakukan kunjungan kerja. Pemeliharaannya sehari-hari juga akan dilakukan TNI AU. Bagi Sesmil, yang penting saat akan digunakan Presiden atau Wapres, helikopter itu siap,” ujar Hadi Tjahjanto waktu itu, seperti dikutip dari Kompas.
Ternyata pengumuman rencana pembelian AW-101 itu justru direspons negatif oleh banyak kalangan, baik melalui media massa maupun media sosial. Ada yang berkomentar helikopter Super Puma yang ada meski sudah uzur tapi masih dinilai masih layak, sehingga membeli pesawat baru dianggap pemborosan. Beberapa pihak setuju Presiden menggunakan helikopter baru, tapi harus membeli dari produsen dalam negeri, yaitu PT Dirgantara Indonesia. Ada juga sebetulnya yang setuju Presiden membeli helikopter baru dari produksi luar negeri, dengan alasan PTDI dinilai belum sanggup memproduksi helikopter secanggih AW-101. Alasan lain: pemesanan ke PTDI biasanya molor.
Tapi suara yang setuju ini sedikit dan tenggelam oleh suara yang kontra. Buntutnya, Presiden Jokowi membatalkan rencana pembelian helikopter AW-101 tersebut. Keputusan itu diambil dalam rapat terbatas kabinet tentang pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI pada 3 Desember 2015. Sekretaris Kabinet Pramono Anung dalam konferensi pers seusai rapat itu menyebutkan usulan pembelian helikopter AW-101 awalnya diutarakan oleh TNI AU.
Hasil rapat kabinet terbatas tanggal 3 Desember 2015 itu tertuang dalam risalah rapat No R-288/Seskab/DKK/12/2015. Dalam poin 6 disebutkan bahwa jika kondisi ekonomi sudah normal maka pembelian helikopter AW-101 VVIP dapat dilakukan, tetapi apabila kondisi ekonomi seperti saat ini maka jangan dibeli dahulu. Lalu pada poin 10, disebutkan bahwa pembelian helikopter AW-101 agar dilakukan dengan kerangka kerjasama Government to Government (G to G).
Menanggapi hal itu, KSAU kemudian mengajukan usulan perubahan pengadaan heli VIP/VVIP menjadi heli angkut berat kepada Dirjen Renhan Kemhan, melalui surat No B/101-09/20/61/Srenaau tertanggal 25 Januari 2016. Dilengkapi dengan data Kajian, Daftar harga dan brosur, serta operational requirements dan spesifikasi teknis. Seluruh prosedur internal dan eksternal ditempuh TNI AU agar dapat merealisasikan pengadaan heli AW-101 untuk kebutuhan angkut.
Tapi berdasarkan surat Kemkeu No.S-868/MK.02/2015 tentang Penyampaian Pagu Alokasi Anggaran Kementerian/Lembaga TA. 2016, dinyatakan bahwa anggaran pengadaan Heli AW 101 VIP/VVIP dalam posisi blokir dan masih diperlukan informasi lanjutan.
Belakangan pengadaan heli angkut dapat dilaksanakan oleh TNI AU setelah mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan, di mana melalui Surat pengesahan DIPA Petikan TA 2016 Nomor: SP DIPA-012.24.1.579297/2016 (Kode digital stamp 2945-8105-9039-3697 Revisi ke 04 tanggal 27 Juni 2016), melepas tanda blokir (tanda bintang) pengadaan helikopter TA 2016 sebesar Rp. 742.500.000.000.
Itu artinya pengadaan helikopter angkut yang diusulkan TNI AU disetujui oleh pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan dan Menteri Pertahanan. Selanjutnya Mabes TNI AU secara internal melanjutkan pengadaan heli dan segala prosedur administrasi layaknya pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Dalam proses pengadaan tersebut ternyata ada perkembangan baru. Setelah tender dilaksanakan dan kontrak pengadaaan ditandatangi antara Kepala Dinas Pengadaan Angkatan Udara dengan PT Diratama (29 Juli 2016) ternyata Panglima TNI Gatot Nurmantyo mengintervensi dengan mengirim surat kepada KSAU pada tanggal 14 September 2016. Isinya Panglima meminta KSAU membatalkan kontrak dengan dasar hasil rapat kabinet pada 3 Desember 2015.
Tapi pemintaan Panglima tersebut tidak ditanggapi. Proses pengadaan terus berlanjut hingga kedatangan heli tersebut ke Jakarta pada awal Februari 2017.
Sumber di TNI AU mengatakan KSAU tidak merespons surat tersebut karena atasan KSAU dalam hal anggaran berdasarkan Permenhan No. 28 tahun 2015 adalah Menteri Pertahanan. Adapun Panglima TNI hanya atasan langsung KSAU dalam hal penggunaan kekuatan (gunkuat). Masalah inilah yang kemudian menjadi kemelut di balik pengadaan AW-1010.
Pertanyaannya sekarang, siapa yang mencabut tanda bintang (pemblokiran) tersebut, sehingga meskipun sudah ada perintah pembatalan pembelian heli VVIP dari Presiden dan Panglima, tapi KSAU masih melanjutkan pembelian AW-101?
Jawabannya: Kemenkeu menghapus tanda bintang atau blokir pada anggaran pembelian heli karena Kemenhan telah melengkapi persyaratan sesuai halaman IV Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).
Namun dalam pengajuan anggaran ini Kemenhan tidak menyebut secara spesifik jenis heli yang dibeli. Hanya ditulis pesawat helikopter dalam rangka pemenuhan Minimum Essential Force (MEF) untuk 2016. Tidak disebutkan secara detil teknis jenis heli AW-101.
Kepala Dinas Penerangan TNI AU waktu itu Marsekal Pertama Jemi Trisonjaya mengakui bahwa anggaran pembelian heli tersebut sempat mendapatkan bintang (tanda blokir). Namun, sejalan dengan waktu, stakeholder terkait mencabut bintang tersebut. “Komisi I DPR, Kementerian Keuangan, Bappenas, Kementerian Pertahanan kan sudah mencopot bintang itu, dan ini TNI AU tidak sendiri, ada keikutsertaan stakeholder terkait, tidak bisa berdiri sendiri,” jelas Jemi waktu itu seperti dikutip dari liputan6.
Menteri Pertahanan saat itu Ryamizard Ryacudu menjelaskan: saat rencana pembelian AW-101 untuk heli VVIP kepresidenan melalui Setneg ditolak, rencana pembelianpun dialihkan ke Kementerian Pertahanan. “Karena Kemenkeu memfasilitasi kalau (untuk) kepresidenan langsung ke Setneg. Gitu. Jadi waktu kerja, Panglima nggak tahu. Saya juga nggak tahu. Setneg yang tahu,” kata Ryamizard.
Lantas siapa yang memerintahkan Kemenkeu untuk melakukan pembayaran. Soal inilah yang sampai saat ini menjadi misteri.
Menteri Keuangan Sri Mulyani belum pernah memberi pernyataan soal ini. Menteri Sekretaris Negara Pratikno, pejabat dalam ring-1 kepresidenan, tidak mau berkomentar.
Begitulah sekilas alur penganggaran pembelian heli AW-101.
KPK hanya menyoal dugaan korupsi seputar pengadaannya saja. Sekarang sedang disidangkan untuk mengungkap siapa yang bermain, siapa saja yang mendapat keuntungan dan siapa yang terlibat dalam lelang heli AW-101. Sementara soal permainan penganggaran masih belum disentuh. Padahal korupsi bukan hanya dalam hal pengadaan saja. Melainkan lebih dari itu, mulai dari perencanaan dan penganggaran.
It takes (more than) two to tango.
k/th/jotz