Anggota Komisi III Ungkap 200 Lebih Terpidana Mati Belum Dieksekusi

0

“Anggota Komisi III DPR Arsul Sani: Kalau maen gampang eksekusi lanjut Arsul maka akan banjir kritik, hal itu seperti yang terjadi dikasus narkoba Bali Nine yang ramai saat itu”

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP, Arsul Sani menjawab pertanyaan sejumlah wartawan. (Istimewa)

Mata-Hukum, Jakarta – Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, mengungkapkan ada lebih dari 200 terpidana mati yang belum dieksekusi. Sebanyak 200 lebih terpidana mati itu semuanya sudah ingrah proses hukumnya. Asrul Sani yang juga menjabat Wakil Ketua MPR RI mengungkapkan hal itu disebuah acara diskusi yang ditayangkan oleh detik.com, pada Kamis 16 Februari 2023.

Gembong Narkoba Fredy Budiman yang sudah dieksekusi mati. (Istimewa)

Tidak kunjung dilakukannya eksekusi terhadap ratusan terpidana mati itu lantaran pemerintah “Walaupun secara tidak resmi telah mengikuti moratorium tentang hukuman mati,” ungkapnya
.

Kalau maen gampang eksekusi lanjut Arsul maka akan banjir kritik, hal itu seperti yang terjadi dikasus gembong narkoba Freddy Budiman dan kasus terpidana narkoba Bali Nine yang ramai saat itu.

Memori atas Kasus Bali Nine, Sindikat Penyelundup Narkoba

Renae Lawrence (41), Satu dari sembilan warga Australia yang tergabung dalam sindikat narkoba ‘Bali Nine’ akan dibebaskan dari penjara di Bali akhir bulan ini. Bali Nine dihukum karena mencoba menyelundupkan heroin dari Indonesia pada tahun 2005. (AFP)

Renae Lawrence, 41, menjadi anggota sindikat penyelundupan narkoba Bali Nine pertama yang bebas dari kurungan penjara Indonesia. Warga negara Australia itu pun langsung dideportasi pihak imigrasi Indonesia setelah ia diserahkan pihak lembaga pemasyarakatan (Lapas) Bangli, Bali, Rabu 21 November 2018.

Termasuk Renae Lawrence, sindikat penyelundupan narkoba yang dibongkar pada 2005 silam itu berjumlah sembilan orang. Otak sindikat yang juga warga Australia yakni Andrew Chen dan Myuran Sukumaran telah dieksekusi mati pada 2015 silam. Satu anggota Bali Nine lainnya, Tan Duc Thanh Nguyen, meninggal di dalam tahanan akibat sakit kanker pada tahun ini

Dua otak sindikat Bali Nine Andrew Chan (kiri) dan Myuran Sukumaran pada 21 September 2010. Dua warga negara Australia itu telah dieksekusi mati pada 2015 silam. (Reuters/Murdani Usman)

Upaya penyelundupan heroin dengan berat lebih dari 8 kg terkuak pada April 2005 silam setelah Indonesia mendapatkan informasi dari polisi Federal Australia.

Pada 17 April 2005, Renae Lawrence bersama empat orang lain yakni Andrew Chan, Scott Rush, Michael Czugaj, dan Martin Stephens ditangkap di Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Dari tangan mereka didapatkan 8,3 kilogram heroin.

Secara terpisah, Myuran Sukumaran, Tan Duc Thanh Nguyen, Si Yi Chen, dan Matthew Norman ditangkap di Kuta saat hendak menyelundupkan heroin tahap dua ke Australia.

Proses persidangan atas mereka pun dimulai pada 11 Oktober 2005.

Dalam proses peradilan, Sukumaran dan Chan, divonis hukuman mati di Pengadilan Negeri Denpasar pada 14 Februari 2006. Dua otak Bali Nine itu mencoba melakukan banding hingga kasasi, namun semuanya ditolak.

Sementara itu, tujuh terpidana lain termasuk Renae divonis hukuman bui dengan jumlah maksimal seumur hidup.

Pada Juli 2007, Perdana Menteri Australia kala itu, John Howard sempat menjalin komunikasi dengan Presiden RI yang masih dijabat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait sindikat Bali Nine.

Upaya permohonan grasi yang dilakukan dua terpidana itu kepada Presiden SBY pada 2012 silam. Namun, permintaan grasi itu pun ditolak Presiden RI yang telah dijabat Joko Widodo (Jokowi) 2014 silam.

Pada awal 2015 silam, PM Australia yang telah dipegang Tony Abbot mendekati Presiden Jokowi agar membatalkan eksekusi dan memberikan pengampunan ke Sukumaran dan Chan. Namun, ekseskusi mati tetap dilakukan kepada dua terpidana tersebut di Nusakambangan pada akhir April 2015.

Tidak hanya pemerintah Australia yang mengecam eksekusi tersebut, warga Australia juga turut serta memprotes. Berbagai macam protes dilakukan baik melalui aksi di depan KBRI Canberra maupun di media sosial salah satunya lewat tagar #BoycottBali.

Renae sendiri bisa bebas pada 21 November 2018 setelah mendapatkan pemotongan hukuman dalam proses peradilan yang lebih tinggi. Selain itu, pria yang telah menjalani hukuman lebih dari 13 tahun itu mendapatkan pengurangan hukuman seperti remisi HUT Kemerdekaan RI dan hari raya keagamaan.

200 Terpidana Mati Belum Dieksekusi pada 2019, Ini Penjelasan Kejagung

Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum), Ali Mukartono mengakui sulit mengeksekusi terpidana hukuman mati meski perkara telah berkekuatan hukum tetap/inkrah.

Saat ini, lebih dari 200 terpidana hukuman mati belum dieksekusi hingga penghujung 2019.

“Perkara inkrah itu bukan berarti langsung bisa dieksekusi hukuman mati karena di sini ada UU tentang grasi. UU grasi mengatakan bahwa permohonan grasi menunda ekskusi. Itu persoalan pertama,” ujar Ali di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin 30 Desember 2019.

Selain UU Grasi, Ali menjelaskan ada beberapa hal lain yang menjadi pertimbangan ditundanya eksekusi hukuman mati.

Salah satunya adalah putusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut Pasal 268 ayat (3) KUHAP tentang pengajuan PK hanya diperbolehkan satu kali.

“Oleh MK dicabut, kemudian UU Grasi juga demikian dikatakan bahwa pengajuan grasi paling lama satu tahun setelah perkara. Pasal ini pun dicabut oleh MK,” ujar Ali.

Menurut Ali, hal tersebut membuat eksekusi hukuman mati menjadi sulit dilakukan. Langkah hukum terpidana seperti tanpa ujung.

Efeknya, sebagian besar tuntutan hukuman mati belum dilakukan karena ada hak-hak hukum yang belum selesai akibat dari peraturan perundang-undangan yang demikian.

“Inilah hal-hal yang menjadi penunda eksekusi. Tetapi kami tetap melaksanakan yang betul-betul bisa kami laksanakan, kami akan tindak lanjut dan kami selesaikan untuk hukuman mati,” kata dia.

Sebelumnya, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menegaskan bahwa eksekusi terhadap terpidana hukuman mati akan tetap dilakukan.
Terutama kepada terpidana yang perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap alias inkrah

Ada beberapa perkara yang belum inkrah. (Setelah inkrah), pasti kita akan eksekusi,” ungkap Burhanuddin di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, pada Jumat 25 Oktober 2019.

Ia menekankan, hukuman mati tercantum pada peraturan perundangan di Indonesia. Oleh sebab itu, dirinya sebagai aparat penegak hukum wajib melaksanakannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *