Bareskrim Polri Kumpulkan Sampel Urine dan Darah Pasien Ginjal Akut Telusuri Faktor Penyebab Kematian
“Brigjen Pol. Pipit Rismanto, Kami ditunjuk untuk melakukan penegakan hukum melalui penyelidikan lebih dalam terkait peristiwa ini”
Mata-Hukum, Serang – Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri mengumpulkan sampel urine dan darah dari para pasien gangguan ginjal akut di Indonesia untuk mengungkap faktor penyebab kematian akibat racun pada obat sirop.
“Kami ditunjuk untuk melakukan penegakan hukum melalui penyelidikan lebih dalam terkait peristiwa ini,” kata Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Pipit Rismanto dalam konferensi pers di Serang, Banten, Senin, 31 Oktober.
Seluruh sampel itu dikumpulkan Polri melalui kerja sama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI serta Kementerian Kesehatan beserta seluruh jaringan di daerah.
“Kami berusaha mengumpulkan sampel bekerja sama dengan Kemenkes, Dinkes dan BPOM di daerah untuk kumpulkan sampel urine dan darah,” ungkap Brigjen Pipit.
Dalam kesempata tersebut, Pipit mengatakan sampel yang telah didapat dari BPOM berupa sisa obat sirop dalam kemasan yang dikonsumsi pasien.
Dari uji sampel sisa obat itu, kata Pipit, penyidikan kasus mengerucut pada cemaran Etilen Glikol (EG) pada produk Paracetamol yang diproduksi PT Afi Pharma.
“Sudah disebutkan ada Afi Pharma, ada beberapa sampel yang kami kirim ke BPOM, kami tunggu hasilnya untuk gelar perkara bersama-sama,” tegasnya.
Dari seluruh sampel yang diperoleh, Bareskrim Polri akan melakukan penegakan hukum terkait faktor kelalaian atau kesengajaan yang berujung pada kejadian kematian pasien.
“Bukan sekadar produk obat, tapi juga pada kualitas bahan baku, apakah impor, produksi dalam negeri nanti kami kembangkan,” beber Pipit.
Pada acara yang sama, Kepala BPOM RI Penny K Lukito mengatakan hingga saat ini telah terkumpul total tiga produsen farmasi swasta di Indonesia yang diduga menggunakan bahan baku pelarut obat yang melampaui ambang batas aman sehingga berisiko merusak ginjal pasien.
Pertama, PT Yarindo Farmatama dengan tuduhan menggunakan bahan baku obat tidak memenuhi syarat sehingga memicu cemaran EG di atas batas aman.
“PT Yarindo Tidak melakukan kualifikasi pemasok bahan baku obat, termasuk tidak melakukan pengujian bahan baku untuk parameter cemaran EG dan DEG,” katanya.
Industri farmasi yang berdomisili di Tangerang, Banten itu juga tidak menggunakan metode analisa uji bahan baku sesuai referensi terkini.
Produk yang dipasarkan bermerek dagang Flurin DMP Syrup terbukti menggunakan bahan baku pelarut Propilen Glikol (PG) hingga memicu cemaran EG sebesar 48 mg/ml dari syarat ambang batas aman 0,1 mg/ml.
Selanjutnya adalah PT Universal Pharmaceutical Industries yang memasarkan produk obat sirop bermerek dagang Unibebi untuk demam dan batuk.
“BPOM menyita 64 drum Propilen Glicol dari distributor bahan baku Dow Chemical Thailand Ltd dengan 12 nomor batch berbeda,” katanya.
Terakhir adalah PT Afi Pharma yang terbukti memiliki kandungan EG pada produk Paracetamol obat sirop.
BPOM: PT Yarindo dan PT Afi Farma Punya Rekam Jejak Banyak Pelanggaran
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito mengatakan, PT Yarindo Farmatama dan PT Afi Farma Pharmaceutical Industries (Afifarma) punya banyak rekam jejak pelanggaran dalam memproduksi obat sirup.
Rekam jejak itu tercatat di BPOM sebagai hasil dari pengawasan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan inspeksi. Dari situ bisa disimpulkan quality control (QC) masing-masing industri farmasi berada pada maturitas tinggi atau rendah.
“Untuk yang maturitasnya rendah sering melakukan pelanggaran. Dan kebetulan PT Yarindo (Farmatama) rekam jejaknya banyak sekali pelanggaran, demikian juga dengan yang lain termasuk PT Afi Farma,” kata Penny dalam konferensi pers secara daring dari Banten, Senin 31 Oktober 2022.
Penny menyampaikan, BPOM menemukan adanya cemaran etilen glikol (EG)yang melebihi ambang batas pada 7 produk parasetamol sirup hingga drop produksi PT PT Afi Farma Pharmaceutical Industries.
Sementara itu, produk obat sirup buatan PT Yarindo Farmatama, Flurin DMP Sirup, mengandung cemaran etilen glikol hampir 100 kali lebih tinggi dari ambang batas aman.
Cemaran etilen glikol (EG) dalam produk Flurin DMP Sirup mencapai 48 miligram per mililiter, sedangkan ambang batas amannya adalah 0,1 miligram per mililiter. Perusahaan ini pun tidak melapor ke BPOM saat melakukan perubahan formulasi obat.
“Apabila ada kondisi di mana mereka mengganti supplier atau formulasinya mau diganti, itu harus melapor ke BPOM agar mendapat izin. Karena itu termasuk dalam perubahan variasi minor dari satu variasi obat,” ujar Penny.
Lebih lanjut Penny menyatakan, industri farmasi pun harus memastikan bahwa bahan baku yang dibeli dari distributor sesuai dengan tingkat/standar farmasi (pharmaceutical grade), bukan standar industri (industrial grade).
Penny mengakui, ada perbedaan harga yang sangat mencolok antara bahan baku standar farmasi dan bahan baku standar industri.
“Ada perbedaan harga yang mencolok sekali antara yang pharmaceutical grade dengan industrial grade yang bisa digunakan untuk pelarut cat. Lebih murah karena tidak harus melalui sistem purifikasi yang levelnya tinggi, sehingga (pharmaceutical grade) relatively mahal. Itu kalau ada kejahatan bisa dilihat di sana,” tutur Penny.
Sebagai informasi, cemaran etilen glikol diduga memicu kasus gagal ginjal akut pada anak yang merebak sejak Agustus 2022. Hingga kini, korban yang meninggal mencapai 157 orang.