Oleh Yusmar Yusuf
Fenomenolog, Budayawan Riau, Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Riau
Demokrasi bercahaya. Di seberang itu, terbit otokrasi berselaput demokrasi “seakan-akan”. Sebuah demokrasi yang bertumpu pada elektoral [kemenangan jumlah suara/vote]. Sejatinya, layak disebut otokrasi berlindung di awan kelabu demokrasi. Alias demokrasi yang dibajak oleh otokrasi. Lewat bergulung-gulung argumentasi demokrasi, semuanya demi memuluskan dinasti keluarga yang sejauh ini hanya berlaku pada tingkat kepala desa. Kini, sudah menyentuh langit pemimpin puncak negeri ini.
SUARA kemenangan pun terbit. Kemenangan yang dipaksakan dalam sejumlah himpunan. Tak perlu lagi ideologi di situ. Himpunan-himpunan yang dipaksa itu antara lain; penukangan MK [Mahkamah Konstitusi]. Hasilnya memuluskan saluran politik dinasti dan dinasti politik. Penukangan ini tetap dibungkus dengan argumen demokrasi: serahkan kepada rakyat. Biar rakyat yang memutuskan. Demokratis kan?
Selanjutnya? Mobilisasi lembaga-lembaga survey yang diorkestrasi pada tangga nada yang sama. Walau falsetto [sumbang]. Bahwa kemenangan harus dijemput dan dirayakan dalam “mode” satu putaran. Seraya menodong dengan dendangan; penghematan!!! “Mode” ini sekaligus ingin mempertontonkan kegamangan “akan kalah”. Maka, disadur lonjoran naskah kemenangan satu putaran. Sekalian jauhi tindak-laku pemubaziran anggaran, jika tetap bernafsu ingin melanjutkan ke putaran kedua. Sebuah cara licik menukil dan menerjemah tabiat mubazir yang dibenci Tuhan.
Inilah satu bentuk kekuatan global dan agama ‘monoteisme’ yang mengganggu dunia kontemporer. Agama dijadikan alat untuk melegitimasi kebohongan kolektif. Semua demi kekuasaan, politik yang bermuara ke otokrasi elektoral itu. Jauh-jauh hari, Jean-Luc Nancy, seorang filsuf modern Prancis, bersorak mengenai ihwal ini.
Program kerja juga diturunkan serendah mungkin [demi melayani logika penduduk negeri yang 60 % tamatan SMP ke bawah]. Tergambar pada program ‘layanan gratis’; BBM gratis, makan siang dan susu gratis, internet gratis. Program sebegini rupa, seakan ingin membangun mentalitas subsidi kepada rakyat. Alias sebuah jalan merawat kemiskinan dan mental “penadah”. Mungkin, hanya program internet gratis, satu-satunya program yang tak bertimpuk dengan “mental subsidi” atau mental “peminta sedekah”. Internet gratis sebagai kewaspadaan atau “alert mode” kepada generasi yang cenderung tak otonom tak mandiri di masa depan. Bahwa mereka yang disuap makan siang dan susu gratis, ialah gambaran pribadi lemah. Digembala lewat pola hidup menunggu dan menanti [sesuatu, bantuan atau apa pun namanya].
Setiap orang, sebagai warga di negara ini tak perlu diajak berfikir kuat dan kritis untuk masuk dan menusuk dunia kerja, berbuat, lasak dan ujung-ujungnya menjadi pribadi mandiri, independen, otonom, tak bergantung pada pihak di luar dirinya. Warga dianggap bak serombongan domba yang digembala berkisar pada tema kebutuhan primal [biologis]. Bukan malah didesak menjadi makhluk yang aktif dan kreatif “mencari dan mencari”, pekerja keras, sampai menemukan jati diri bangsa dengan sekumpulan etos kerja yang disegani dunia. Kita seakan tak mampu mengangkat harkat dan martabat diri warga lemah dan kecil untuk naik setingkat demi setingkat anjakan peradaban dunia. Melebarkan tenda kemiskinan. Kemiskinan dan pemiskinan itu sendiri sudah menjalani eksploitasi oleh para politisi dan penguasa, demi keabadian tahta. Sejatinya, ketika warganya adalah tipe pekerja keras, lalu mampu mengumpul [kapital] dan berkemampuan berbagi [wakaf, sedekah, karitas, atau apa pun istilahnya] demi kesetaraan hidup bersama di masa depan yang tak lesi.
Program serba gratis ini bak saklar untuk kemiskinan abadi. Kemiskinan yang tabung. Lewat kemiskinan, penguasa otoritarianisme elektoral, akan panen saban periodik. Tanpa susah payah harus turun ke kampung-kampung. Siapkan bantuan tunai, negara cukup dipimpin oleh seorang dirijen merangkap pengantar bantuan di pinggir-pinggir jalan, lengkap dengan toa. Menteri selaku pembantu, cukup tiga orang. Selebihnya? Perkuat sistem relawan. Berseru, menghimbau, kapan perlu cegat rakyat yang tengah sibuk berlalu-lalang di sepanjang jalanan kota depan istana, di sepanjang jalan-jalan kumuh pedesaan dan kampung yang berdebu. Lalu, gelontorkan bergoni-goni beras, gandum dan lainnya. Kemenangan, bagi penekun otoritarianisme model ini, sesuatu yang pasti dan niscaya. Selanjutnya, pergilirkan juru gembala ke atas rombongan “domba” patuh, lapar dan penadah dari periode ke priode. Warga, bagi mereka ialah sekumpulan tubuh berdaging pembalut tulang, tanpa hati dan cita-cita.
Demi elektoral yang bercahaya, terhidang ironi baru lagi; program bantuan sosial [dadakan], dan ditumpu pada satu wilayah saja di Indonesia. Padahal provinsi lain juga memerlukan bantuan sosial langsung. Tapi, demi memenuhi kepentingan “sang pemberi” [politisasi individu pemberi, bukan lagi bantuan dari negara atau pemerintahan]. Bantuan sosial langsung kenapa harus tertumpu di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat, sesekali Jawa Timur dan Banten. Ini tak lebih dari sebuah cara “membantah” kebijakan sebelumnya, bahwa pembangunan tidak Jawa sentris. Padahal?
Inilah era otokrasi elektoral, hasil dari segala puncak keinginan demi mempertahankan candu kekuasaan yang tak rela dilepaskan berdasarkan kesepakatan [undang-undang] sebelumnya dan malah dipatuhi dan ditekuni oleh presiden-presiden sebelumnya. Pada era ini, nampaknya partai-partai sebagai organ kelengkapan demokrasi itu, pelan-pelan dilemahkan menjelang dihapus dan ditiadakan. Yang tersisa dari gambut otokrasi elektoral nantinya adalah relawan. Sebuah kerja “partikelir partisan” yang menggantikan peran partai-partai. Parlemen ditutup, segala lembaga negara yang dicurigai memperpendek nafas relawan, dibungkam atau malah dibubar. Negara lebih cantik dilayari oleh seorang nakhoda yang mengambil alih fungsi juru mesin, juru tali, pelempar tali, anak geladak, pelayan kamar, pemompa air. Selebihnya? Seluruh rakyat berperan selaku relawan.
Negara tegak tanpa satu partai. Di negara komunis? Malah menyisakan satu partai.
***