MASIH ingat ratusan pelajar STM dan SMA yang ikut berdemo di depan Gedung DPR, Jakarta, pada 23-30 September 2019 lalu? Mereka bergabung dengan kakak-kakak mereka, kaum mahasiswa, yang menolak revisi UU Korupsi. Terjadi beberapa kali bentrok antara pendemo dengan polisi. Jika ditonton dari tayangan TV, demo-demo waktu itu berlangsung cukup seru dan mendebarkan.
Puluhan sampai ratusan pelajar SMK dan SMA pendemo sempat ditahan polisi. Mereka diinterogasi dan kemudian dipulangkan. Ada juga yang masih ditahan dan pekan-pekan ini akan menjalani persidangan. Dia adalah orang yang fotonya viral sedunia. Dalam foto itu seorang pelajar berbalut bendera merah putih yang wajahnya ditutupi lengan karena terkena asap. Di media inisial namanya LA, seorang pelajar STM di Jakarta. Ia ditahan karena polisi menyatakan LA bukan lagi pelajar STM. Ia sudah lulus dan sekarang umurnya 20 tahun. Pasal yang dikenakan, menurut polisi dan jaksa, adalah terlibat dalam kerusuhan.
Terlibatnya ratusan pelajar STM dan SMA dalam demo mahasiswa di jalanan membuat otoritas pendidikan terkejut. Banyak sekolah kemudian diminta untuk mengontrol siswa-siswanya dan melarang ikut demo. Ada juga sekolah yang mengancam akan mengeluarkan siswa tersebut. Namun tak sedikit kalangan pendidik yang menyarankan sekolah dan dinas pendidikan menempuh cara bijak dan mendidik, yakni dengan memberi wawasan lebih luas tentang hak politik pelajar. Diskursus soal hak politik pelajar ini kemudian mengemuka.
Masa Perkembangan
Para pelajar yang ikut demonstrasi kebanyakan karena didorong rasa setia kawan atau solidaritas yang kuat. Perilaku ini memang dialami semua orang pada fase remaja dan menuju dewasa. Hal ini terkait juga dengan perkembangan otak remaja, di mana bagian prefrontal cortex yang membantu berpikir rasional belum berfungsi optimal sehingga perilaku mereka masih dipengaruhi oleh emosi. Jadi pelajar-pelajar yang masih remaja dan menjelang dewasa itu memang rentan untuk berbuat di luar batas jika emosinya terpancing.
Agar tak terjadi lagi hal-hal yang tak diinginkan saat demonstrasi, disarankan agar sekolah atau orangtua mengajak anak didiknya berdiskusi terlebih dahulu untuk memastikan pemahaman mereka mengenai isu apa yang akan mereka sampaikan saat berdemo.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta agar pelajar yang ditangkap saat ikut aksi unjuk rasa tidak diproses secara hukum. Sebab anak-anak atau pelajar tersebut juga memiliki hak untuk berkumpul dan menyuarakan pendapatnya. Pada dasarnya setiap anak-anak juga dijamin haknya untuk berkumpul dan menyuarakan pendapat. Hanya, memang tidak semua, anak-anak yang dapat menyuarakan pendapatnya pun dikategorikan berdasarkan umur.
Sanksi Akademis dan Hukuman Fisik
Beberapa sekolah ternyata menghukum siswanya yang ketahuan mengikuti demonstrasi.
Ada tiga jenis pelanggaran hak atas pendidikan yang ditemukan: sekolah mengeluarkan surat imbauan untuk tidak mendukung aksi pelajar; pemberian sanksi akademis dengan ancaman dikeluarkan, menandatangani surat pengunduran diri, diberi surat peringatan, menskors, pemanggilan orangtua, dicabut dari jabatan OSIS, dilarang berpartisipasi dalam program sekolah dan diwajibkan ikut bimbingan konseling.
Sekolah juga menerapkan sanksi hukuman fisik seperti menjemur, memukul, menendang dan menoyor siswa.
Sayangnya tidak semua pelajar tersebut mau mengadukan kasusnya untuk ditindaklanjuti. Mereka khawatir akan menimbulkan masalah lain yang lebih berat seperti dikeluarkan dari sekolah.
Sekolah seharusnya melakukan pembinaan terlebih dulu, bukan mengeluarkan anak. Pembinaan juga tidak boleh menggunakan hukuman fisik, karena hal itu sudah termasuk kekerasan kepada anak. Sekolah seharusnya melindungi anak-anak dari tindak kekerasan.
Jika sekolah menjatuhkan sanksi akademis sampai siswa dikeluarkan sekolah, hal ini jelas melanggar UU Nomor 35 tahun 2014. Yang pada Pasal 9 ayat (1a) menyatakan: “setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik dan atau pihak lain”.
Begitu pula dengan penetapan sanksi drop out untuk murid yang mengakibatkan anak kehilangan hak pendidikannya untuk bersekolah. Hal itu melanggar Pasal 49 UU Perlindungan Anak, yang menyebutkan: “negara, pemerintah, pemerintah daerah, keluarga, dan orangtua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan”.
Dan tindakan itu melanggar UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga. Penghilangan hak sekolah anak-anak dan remaja dapat diartikan sebagai pelanggaran hak konstitusional warga negara.
Begitu juga jika ada pelajar atau anak yang berhadapan dengan hukum lantaran yang bersangkutan melakukan kekerasan ke aparat, seperti melakukan pelemparan batu, memukul petugas dan sejenisnya, hak-hak mereka harus tetap dilindungi.
Hak Politik Pelajar
Apa benar pelajar tidak mempunyai hak politik?
Jika berpolitik hanya diartikan dengan adanya hak untuk memilih dan dipilih, maka di Indonesia batasan umur warga negara yang bisa berpolitik adalah mulai usia 17 tahun (saat ia berhak mendapat kartu tanda penduduk) atau jika ia sudah menikah. Di bawah usia 17 tahun ia belum punya hak memilih dan dipilih. Ia belum dianggap dewasa.
Pelajar yang berusia di bawah 17 tahun dikategorikan sebagai remaja atau anak-anak. Aturan yang dikenakan kepada mereka bukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, melainkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. UU ini melindungi anak (dan remaja) dari penyalahgunaan kegiatan politik, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial dan segala peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, seperti perang, kejahatan seksual dan lainnya.
Dalam konteks ini, jika ada pelajar berusia di bawah 17 tahun yang ikut demo dan kemudian ditahan lalu diproses hukum, maka polisi dan penegak hukum harus taat aturan dengan mengenakan sanksi yang mendidik. Bukan penghukuman pidana.
Makna politik sebenarnya luas. Aristoteles seorang filsuf Yunani mengatakan bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Hal ini menunjukan bahwa politik sejatinya mulia. Politik sejatinya adalah usaha untuk mewujudkan kebaikan di segala bidang kehidupan. Oleh karenanya pemahaman tentang politik harus mulai dipahami pelajar.
Banyak sekali literatur tentang politik yang bisa dipelajari. Tentang apa itu yang dimaksud dengan politik, tentang sejarah politik di tiap peradaban manusia, tentang cara-cara berpolitik, tentang segala hal yang diakibatkan oleh praktik politik dan lain sebagainya. Makna politik sangat luas. Begitu juga dengan dampak politik.
Namun sekarang istilah “politik” mengalami perusakan makna. Politik zaman now sering dimaknai sebagai segala hal yang berhubungan dengan kekuasaan, termasuk usaha untuk mendapatkan kekuasaan itu. Akibatnya segala usaha dengan segala cara dipakai untuk mendapatkan kekuasaan, termasuk dengan cara-cara yang tercela. Ini adalah pemahaman politik yang keliru. Pengertian ini yang kemudian menjadikan orang enggan berhubungan dengan politik.
Pelajar sebagai calon generasi penerus bangsa seharusnya mulai tanggap dengan politik. Pelajar sebagai generasi terdidik, generasi yang punya akses informasi yang lebih memadai dan generasi yang kritis seharusnya bisa mulai belajar tentang politik. Karena dari politiklah semua kebijakan yang berkaitan dengan aspek kehidupan dibuat. Pelajar harus mulai memiliki kesadaran untuk menjadi manusia politik.
Belajar politik adalah belajar untuk berdemokrasi, belajar berpendapat dan belajar untuk menghargai pendapat orang lain. Pelajar bisa belajar politik di sekolah maupun dari media informasi. Contoh praktisnya, di sekolah pelajar dapat belajar berpolitik dengan adanya pemilihan ketua OSIS. Setiap pelajar mempunyai hak untuk mencalonkan diri dan berhak memilih siapa yang menjadi ketua OSIS. Nah di situ siswa dituntut untuk menyalurkan aspirasi sekaligus menghargai aspirasi orang lain. Ini satu contoh belajar politik praktis di sekolah.
Selain itu pelajar bisa mengikuti informasi politik dan segala hal yang terkait lewat media informasi, baik media cetak, televisi maupun internet. Atau juga ikut dalam organisasi-organisasi ekstra-sekolah yang banyak eksis di masyarakat.
Kenapa pelajar harus peka terhadap politik? Karena dari keputusan politiklah semua akan dipengaruhi. Biaya sekolah dan biya kuliah, harga sembako, harga bensin, nasib petani, upah buruh, gaji pegawai dan lainya, semuanya ditentukan oleh kebijakan politik. Jika semua orang buta politik maka yang berkuasa adalah orang yang punya uang untuk suap (money politics).
Sebagai komponen penting masyarakat dan generasi masa depan, pelajar tidak boleh apatis, cuek dan masa bodoh dengan politik. Pelajar tidak boleh menutup mata terhadap politik. Pelajar tidak boleh buta dengan politik. Karena ketika pelajar sebagai generasi muda penerus bangsa buta politik maka akan sangat merugikan kehidupan bangsa dan negara ini. Generasi muda adalah generasi yang diharapkan berpartisipasi dalam politik yang bersih. Pelajar diharapkan jadi generasi yang bisa memperbaiki kebobrokan generasi tua yang biasa bermain suap dan korupsi.
Politik mencakup hampir semua bidang kehidupan masyarakat. Dan pelajar adalah bagian dari masyarakat. Jika pelajar secara sengaja dijauhkan dari persoalan politik masyarakatnya, ia akan menjadi sosok yang apolitis, tidak peduli dengan segala hal yang terjadi di sekitarnya. Suara pelajar adalah juga aspirasi masyarakat. Hak dan kepentingan pelajar adalah bagian dari hak dan kepentingan masyarakat. Jika suara pelajar tidak didengar oleh lingkungan sekitarnya wajar jika mereka akan mencari cara agar aspirasi mereka didengar. Jika kebutuhan pelajar tersumbat maka wajar jika mereka mencari saluran lain, seperti ikut aksi demo mahasiswa.
Belajar politik tidak harus menjadi politisi, namun dengan belajar politik akan diperoleh pemahaman yang benar tentang politik yang ideal. Pemahaman ini akan membuat pelajar menjadi generasi yang kritis apapun kelak profesinya.
Jika semua pelajar bisa peduli dan mau belajar politik serta menjadi generasi yang benci korupsi dan anti suap (money politics) maka masih ada harapan untuk menjadikan masa depan Indonesia yang lebih bermartabat. Di mana nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 benar-benar bisa terwujud nyata.
JA HALIM
“Buta yang paling buruk adalah buta politik. Buta politik membuat seseorang tidak bisa mendengar, tidak bisa berbicara, atau tidak bisa berpartisipasi dalam peristiwa politik. Buta politik membuat seseorang tidak tahu kenapa biaya hidup, harga makanan, kacang, ikan, tepung, uang sewa, sepatu dan obat-obatan bisa naik atau turun. Semua hal itu tergantung dari keputusan politik. Buta politik membuat seseorang menjadi sangat bodoh sampai-sampai dia bangga dan berkata bahwa dia membenci politik. Orang dungu itu tidak tahu bahwa dari ketidakpeduliannya atas politik itu lahir banyak pelacur, anak-anak terlantar dan pencuri-pencuri ganas, yakni politisi jahat, korup dan antek-antek perusahaan-perusahaan nasional dan multinasional.”
Eugen Berthold Friedrich Brecht (10 Februari 1898-14 Agustus 1956), terkenal sebagai Bertolt Brecht, seorang dramawan dan penyair Jerman, karya-karyanya berpengaruh pada abad 20.