28.9 C
Jakarta
19.05.2025
Mata Hukum
Home » Hasan Nasbi dan Blunder Kikikik
Opini

Hasan Nasbi dan Blunder Kikikik

GW Seno

Publik tak butuh pejabat yang sibuk bercanda tak lucu atau menghapus cuitan, tapi yang bisa menjaga marwah komunikasi presidensial: resmi, direktif, otoritatif.

GW Seno

Jurnalis

***

HARI ini dunia perpolitikan Indonesia kembali diramaikan pengunduran diri Hasan Nasbi dari jabatannya sebagai Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), atau yang kita sebut saja Kikikik—Kantor Komunikasi yang Kagak Ingat Konteks.

Pada 21 April 2025, Hasan memilih menepi, mengaku ada “persoalan yang tak bisa diatasi”. Kalimat itu terdengar seperti pengakuan sopan, tapi mari kita bongkar rangkaian blunder kampungan yang membuatnya jadi bahan tertawaan publik dan beban pemerintahan Prabowo Subianto.

Hasan Nasbi, kelahiran Bukittinggi 1979, bukan nama sembarangan di dunia politik. Ia pernah jadi jurnalis Kompas (2005-2006), peneliti di Universitas Indonesia (2006-2008), dan pendiri lembaga survei yang kerap jadi penutup mulut para politisi dengan angka-angka “quick count”. Namanya melejit saat jadi konsultan politik Jokowi-Ahok di Pilkada DKI 2012, lalu inisiator “Teman Ahok” di 2017. Afiliasinya jelas: pro-Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019, tapi entah bagaimana ia beralih haluan ke kubu Prabowo-Gibran di 2024. Fleksibel sekali, seperti karet gelang yang bisa melar ke mana saja demi kursi kekuasaan.

Namun, fleksibilitas politik tak menjamin kecakapan komunikasi.

Sejak dilantik sebagai Kepala PCO pada Agustus 2024 oleh Jokowi, lalu dilanjutkan Prabowo, Hasan seolah punya bakat khusus: mengubah setiap kesempatan bicara jadi bencana publik.

Puncaknya komentar soal teror kepala babi yang dikirim ke redaksi Tempo pada Maret 2025. Alih-alih mengecam intimidasi terhadap kebebasan pers, Hasan malah nyengir dan bilang, “Sudah dimasak saja”. Cerdas sekali. Mengira humor pasar bisa jadi jurus diplomasi Istana.

Respons ini bukan cuma teledor, tapi juga nir-empati, seperti yang dikecam psikolog forensik Reza: “Penyepelean terhadap harkat hidup manusia”. Bahkan Prabowo sendiri menyebutnya “keliru” dan “teledor,” saking malunya dengan anak buah yang satu ini.

Blunder Hasan tak berhenti di situ. Ia juga sempat menuduh demonstran RUU TNI sebagai provokator di media sosial, lalu buru-buru menghapus cuitannya saat panas. Belum lagi, PCO di bawah Hasan kerap salah sasaran, seperti menyinggung program makan gratis saat diminta komentar soal tarif resiprokal AS.

Komunikasi pemerintahan Prabowo jadi sorotan karena minim koordinasi dan akses. Hasan jarang ikut rapat penting atau mendampingi Presiden, kantor PCO pun terisolasi di Gedung Kwarnas, jauh dari Istana. Hasilnya? Kebijakan pemerintah sering salah persepsi, rakyat bingung, dan narasi negatif bertebaran.

Prabowo sendiri mengakui kelemahan komunikasi ini. Dalam wawancara di Hambalang, 6 April 2025, ia blak-blakan: “Saya yang salah,” mengaku fokus pada kerja, bukan persepsi publik.

Tapi, mari kita jujur, Pak Presiden, kalau tim komunikasi Anda dipimpin oleh maestro blunder seperti Hasan, wajar kalau pemerintahan Anda dinilai “ruwet” dan “acak-acakan”. Publik tak butuh pejabat yang sibuk bercanda tak lucu atau menghapus cuitan, tapi yang bisa menjaga marwah komunikasi presidensial: resmi, direktif, otoritatif.

Mundurnya Hasan, meski dikemas dengan alasan “memberi kesempatan pada yang lebih baik”, tak bisa menyembunyikan fakta: ia gagal. Anggaran PCO yang seret disebut-sebut jadi alasan, tapi itu cuma kamuflase. Yang sebenarnya seret adalah kemampuan Hasan menyesuaikan diri dari dunia survei ke panggung publik yang penuh sorotan. Prabowo lantas menunjuk Mensesneg Prasetyo Hadi sebagai juru bicara, sebuah langkah yang menegaskan bahwa PCO di bawah Hasan tak lagi dipercaya.

Kini, Hasan Nasbi meninggalkan Kikikik dengan warisan blunder yang akan dikenang sebagai pelajaran: komunikasi politik bukan soal guyon kampungan atau fleksibilitas politik, tapi soal empati, kecerdasan, dan tanggung jawab.

Pemerintahan Prabowo harus segera berbenah, atau risiko jadi bahan tertawaan publik akan terus menghantui.

Selamat jalan, Bung Hasan, semoga di luar sana Anda belajar bahwa kepala babi bukan bahan candaan, dan komunikasi bukan permainan sirkus.


Berita Terkait

Catatan Kecil Adi Warman: Pelantikan Bertahap Kepala Daerah Melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi

Farid Bima

Catatan Atas Perintah Presiden Prabowo Soal Penghapusan Kuota Impor

jotz

Catatan Akhir Pekan Adi Warman : “Sebuah Kisah Politik & Lelucon?, Kepala Daerah PDI-P dan Retret yang Terlewatkan”

Farid Bima

Leave a Comment