Ini Ciri Manusia Indonesia versi Mochtar Lubis
HAMPIR setengah abad lalu mendiang Mochtar Lubis memaparkan potret manusia Indonesia. Makalah 14 halaman berjudul “Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban” itu dibacakan dalam ceramah 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, yang kini kerap dikatakan Pidato Kebudayaan. Rasanya pedas buat yang tersodok, namun cambuk bagi orang terbuka yang mau memperbaiki diri. Tak sepenuhnya ilmiah, karena ia bukan akademisi tulen. Lebih dari itu ia adalah seorang budayawan dan jurnalis yang lurus, tegar dan berani.
Berikut ringkasan stereotip manusia Indonesia yang dipotret Mochtar Lubis:
- Munafik atau hipokrit, yang di antaranya menampilkan dan menyuburkan sikap ABS (asal Bapak senang);
- Enggan dan segan bertanggunngjawab atas perbuatannya;
- Berjiwa feodal;
- Percaya takhayul;
- Artistik, berbakat seni;
- Lemah wataknya;
- Cenderung boros dan suka jalan pintas (instan); dan
- Cepat belajar, otaknya cukup encer namun malas dan kurang sabar.
Singkat kata, Mocthar Lubis mencurigai kentalnya stereotip tersebut lah yang membuat kehidupan bangsa Indonesia menjadi bangsa paria seperti sekarang ini. Ciri-ciri tersebut tidak muncul dengan sendirinya secara otomatis. Itu bukan genetika paten atau bakat bawaan orang Indonesia. Ia adalah hasil dari sekian lama dan sekian banyak persinggungan peradaban, serta reaksi atas kejadian yang menimpa dalam sejarah Indonesia.
Dalam paparan selanjutnya Mochtar Lubis menyinggung banyak persoalan dunia yang terkait dengan kondisi Indonesia kala itu, antara lain keroposnya bumi akibat kapitalisme, peran adi-kuasa (lembaga-lembaga internasional dan multi-nasional korporasi) dan makin sedikitnya pemimpin dunia bijak sebagai penyebab berbagai masalah global saat ini.
Bagaimana keluar darinya?
Untuk pemimpin Indonesia, Mochtar Lubis memberi saran.
Dengan berdaya upaya agar kehidupan bangsa kita jangan terlalu banyak tergantung dari mereka, dengan memobilisasi sumber-sumber manusia,dana dan alam kita sebaik-baiknya dan seefisien yang dapat kita lakukan, dengan berhemat sampai menghitung sen, menghentikan sama sekali korupsi, dan memusatkanusaha dan pengabdian kita pada perbaikan penghidupan rakyat kita. Kita pasti tidak sepenuhnya dapat melepaskan diri dari sistem dan jaringan ekonomi, keuangan dan perdagangan internasional yang selama ini telah kita masuki dengan membuka pintu tanah air kita seluas-luasnya pada mereka. Akan tetapi kita masih dapat melakukan daya upaya untuk membikin sesuatu hempasan yang mungkin timbul. Jangan terlalu keras menghempaskan kita.
Jika kita terus begini, tidak mengubah cara-cara kita berpikir dan berbuat, mengubah nilai-nilai yang membimbing kehidupan kita, maka saya khawatir kita akan jadi kuli kasar belaka bagi perusahaan-perusahaan multinasional Jepang, Cina, Singapura, Amerika, Jerman, Belanda, Prancis, Inggris dan sebagainya, di tanah air kita sendiri.
Dan sudah terbukti sekarang di tambang-tambang nikel Sulawesi. Pemerintah sengaja membuka lebar investasi gila-gilaan Cina. Modal, peralatan sampai pekerja datang langsung dari Cina. Gajinya besar. Sementara tenaga kerja lokal hanya mengurus pekerjaan kasar dengan gaji sangat rendah.
Relakah kita melihat anak cucu kita mengalami nasib demikian?
jotz