Jaksa Agung Paparkan Syarat Perkara Diselesaikan Pakai Restorative Justice
“Hukum yang ada cenderung tidak berpihak kepada hak-hak korban, melainkan lebih dominan mengakomodir hak-hak pelaku”
Mata-Hukum, Jakarta – Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan penegakan hukum kerap tak bermanfaat bagi pelaku, korban, dan masyarakat. Hal itu karena awalnya penegakan hukum selalu menggunakan paradigma retributif.
“Hukum yang ada cenderung tidak berpihak kepada hak-hak korban, melainkan lebih dominan mengakomodir hak-hak pelaku,” kata Burhanuddin dalam keterangan pers yang diterbitkan oleh Kejaksaan Agung, pada Senin 3 Oktpber 2022.
Dalam kesempatan itu, Burhanuddin menyebut korban kejahatan sering mendapat kerugian karena tidak diperhatikan keadaannya. Terlebih, kerugian korban tidak terpulihkan dengan pemidanaan pelaku kejahatan.
“Oleh karenanya, jika orientasi penegakan hukum ditujukan pula untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh korban, maka akan lebih tepat jika pelaku kejahatan diwajibkan oleh negara untuk memperbaiki kerusakan atau kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan pelaku terhadap korban,” ungkap Jaksa Agung.
Atas dasar itu, Burhanuddin menyampaikan salah satu upaya agar penegakan hukum sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, dengan diterbitkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia ini jadi dasar hukum bagi para jaksa untuk melakukan penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif.
“Hanya beberapa perkara yang dapat diselesaikan dengan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia tersebut setelah memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya adalah telah pulihnya hak-hak korban yang dilanggar, telah terjadi perdamaian antara pelaku dengan korban, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, dan tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun,” jelasnya.
Jaksa Agung mengatakan Peraturan Kejaksaan ini menjadi dasar hukum bagi para jaksa untuk melakukan penghentian penuntutan yang berorientasi pada upaya memulihkan kerugian korban kejahatan, dan upaya memperbaiki diri pelaku kejahatan, serta mengembalikan tatanan hidup masyarakat yang sempat tergores dengan adanya suatu tindak pidana seperti keadaan semula.
“Pemikiran hukum bisa saja statis, namun kita harus dinamis dalam melihat isi dari hukum dalam setiap penerapan faktualnya di tengah masyarakat, karena begitu dinamisnya gerak ruang hidup masyarakat dengan kompleksitas permasalahannya,” tutur Burhanuddin.
12 Perkara Dihentikan dengan Restorative Justice
Sementara itu, Jaksa Agung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Fadil Zumhana menyetujui penerapan restorative justice atau keadilan restoratif untuk menghentikan 12 dari 14 perkara.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana menyebut penghentian perkara dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan. Salah satunya telah dilaksanakan proses perdamaian antara korban dan tersangka. Lalu karena kedua pihak sepakat tidak melanjutkan perkara ke persidangan.
“Proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi. Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar. Pertimbangan sosiologis. Masyarakat merespon positif,” ujar Ketut dalam keterangan tertulis, Senin 3 September 2022.
Selain itu, tersangka yang belum pernah dihukum dan ancaman pidana yang tidak lebih dari lima tahun menjadi alasan. Dalam kasus lainnya, tersangka sudah membayarkan dana bantuan kepada korban.
“Tersangka belum pernah dihukum. Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana. Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun. Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya,” ujarnya.
Sementara itu, ada dua perkara terkait pencurian dengan pemberatan, tidak dihentikan. Sebab, bertentangan dengan nilai dasar sesuai peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020.
Adapun 12 berkas perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif yaitu:
1. Tersangka Willy Putra Evid dari Kejaksaan Negeri Aceh Selatan yang disangka melanggar Pasal 45 Ayat (3) jo. Pasal 27 Ayat (3) Undang-undang RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
2. Tersangka Ari Mahondok Barus dari Kejaksaan Negeri Aceh Singkil yang disangka melanggar Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
3. Tersangka Genali Gayo dari Kejaksaan Negeri Aceh Tengah yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP jo. Pasal 76 C jo. Pasal 80 Ayat (1) Undang-undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
4. Tersangka Filai Doni dari Kejaksaan Negeri Aceh Tengah yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan jo. Pasal 76 C jo. Pasal 80 Ayat (1) Undang-undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
5. Tersangka Valentria Januari dari Kejaksaan Negeri Aceh Tengah yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
6. Tersangka Hasfi Andika Putra dari Kejaksaan Negeri Aceh Tengah yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
7. Tersangka Ali dari Kejaksaan Negeri Mamuju yang disangka melanggar Pasal 80 Ayat (1) Undang-undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
8. Tersangka Defriyanto Tinulele dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
9. Tersangka Asrul Sani Suat dari Kejaksaan Negeri Ambon yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang Penganiayaan.
10. Tersangka Harwanto dari Kejaksaan Negeri Konawe Selatan yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) jo. Pasal 5 huruf a Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2004 atau Pasal 44 Ayat (4) jo. Pasal 5 huruf a Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
11. Tersangka La Amura dari Kejaksaan Negeri Buton yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
12. Tersangka Muh. Fajri dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Tangerang yang disangka melanggar Pasal 80 Ayat (1) jo. Pasal 76 C Undang-undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.