Jaksa Agung ST Burhanuddin: 2.000 Kasus Diselesaikan dengan “Restorative Justice”
“Jaksa Agung, tapi kita jawab ke masyarakat dulu, bahwa hukum tidak tajam ke bawah, tumpul ke atas”
Mata-Hukum, Jakarta – Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengklaim mekanisme penyelesaian tindak pidana melalui restorative justice terus dilakukan. Ia mengungkapkan, sampai saat ini terdapat ribuan perkara di Indonesia yang telah diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif.
“Sudah sekitar 2.000 an kasus (restorative justice),” ujar Burhanuddin kepada wartawan usai acara ‘Sound of Justice’, di Gedung Smesco, Jakarta Selatan, Sabtu 19 November 2022.
Dalam pandangannya, banyak kasus yang diselesaikan melalui restorative justice tidak lantas menunjukan banyaknya perkara remeh di masyarakat.
Namun, upaya penyelesaian perkara di luar jalur persidangan itu dilakukan untuk menangani kasus-kasus ketimpangan yang melibatkan terlapor dan pelapornya.
“Saya melihat ada ketimpangan khusus untuk orang-orang yang harusnya tidak masuk penjara, ini masuk penjara,” kata Burhanuddin.
Ia juga tak menghitung berapa biaya operasional pengungkapan perkara yang berhasil dihemat ketika menggunakan mekanisme restorative justice.
Burhanuddin menegaskan, Kejaksaan Agung tidak menerapkan keadilan restoratif untuk mengurangi biaya operasional, maupun jumlah narapidana di lembaga pemasyarakatan.
“Tapi kita jawab ke masyarakat dulu, bahwa hukum tidak tajam ke bawah, tumpul ke atas,” ujarnya.
Jaksa Agung Pastikan Restorative Justice tak Jadi Ladang Cuan Jaksa
Dalam kesempata yang sama, Jaksa Agung RI Sanitiar Burhanuddin memastikan, adanya sistem pengawasan dalam penerapan restorative justice, agar tidak disalahgunakan oleh oknum jaksa nakal menjadi ladang cuan atau mencari keuntungan.
“Memang betul sekali, pada waktu saya mau tanda tangan perja ini, saya masih ragu karena kondisi jaksa pada waktu itu. Tapi dengan satu tekad, saya ingin memperbaiki situasi ini,” tegas Burhanuddin
Menurut Burhanuddin, ada celah untuk penyalahgunaan, karena perkara yang tadinya perlu diselesaikan di persidangan kemudian diputus oleh jaksa melalui keadilan restoratif. “Ini kalau bagi jaksa-jaksa nakal, ini adalah harapan untuk berbuat tercela,” ujarnya.
Untuk mencegah hal itu, kata Burhanuddin, pihaknya melakukan pengawasan baik pengawasan oleh internal kejaksaan maupun melibatkan peran aktif masyarakat termasuk media. “Kami mencoba membentuk tim pengawasannya selain fungsional yang ada di kami yaitu Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan, kami juga ada Satgas 53,” katanya.
Satgas 53 ini, lanjut Burhanuddin, menjadi ujung tombak Kejaksaan RI untuk mengawasi jaksa-jaksa di daerah dan di seluruh Indonesia. “Itu (Satgas 53) kami bentuk dalam rangka untuk mengawasi, jangan sampai terjadi, jangan sampai terjadi penyalahgunaan,” katanya pula.
Diketahui, restorative justice mulai diterapkan pasca diterbitkannya Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan. Pada Agustus lalu, Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana mengungkapkan bahwa restorative justice juga bakal diterapkan pada tindak pidana narkotika. Pedomannya bakal diatur melalui Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021, yang merupakan turunan dari Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020.