Mata-Hukum, Jakarta – PENYELESAIAN perkara dengan jalan Restorative Justice mengubah cara pandang Para Jaksa. Mereka tetap mempertahankan dan berdiri pada pedoman penegakan hukum. Tapi sekarang juga harus mempertimbangkan humanisme dan sesuai dengan hati nurani. Tambah rumit tapi lebih manusiawi. Lebih memuaskan dalam penyelesaian perkara bagi Jaksa. Berikut kisah Jaksa di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dalam menangani perkara dengan jalan Restorative Justice:
Ketika berkas itu sampai di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, sebagaimana biasanya, melalu proses standar. Setelah berita acara serah terima dari pihak kepolisian selesai, berkas perkara itu melalui proses pendaftaran dan pencatatan seperti biasanya.
Sebagimana juga galibnya, berkas perkara itu mulai diperiksa dan diteliti seorang Jaksa yang ditunjuk oleh Kasi Pidana Umum Kejari Jakarta Pusat, Sobrani Binsar Tambunan, setelah mendapat arahan dari Kepala Kejari Jakarta Pusat Bima Suprayoga. Maka, seorang Jaksa Senior, Kejari Jakarta Pusat, Wilhemina Manuhutu, mendapat tugas menelaah berkas tersebut.
“Begitu membaca berkas perkara, di hati saya sudah muncul pertimbangan kasus ini bisa diselesaikan dengan Restorative Justice,” kata Wilhemina Manuhutu. “Pimpinan juga sudah menekankan ke arah penyelesaian perkara di luar siding pengadilan. Jadi hati saya tambah mantap,” tegas Wilhemina.
Berkas perkara tersebut tentang aksi penjambretan. Pelakunya Ade Rangga, 25 tahun, yang bertempat tinggal di Jatinegara, Jakarta Timur. Peristiwa berlangsung di pintu keluar Terminal Senen, Jakarta, Pusat, pada 2 Maret 2022. Ketika itu, korban bernama Lestari Zahrotul Khusnaini Khikmah, sedang sibuk menelepon. Tiba-tiba handphone dijambret seseorang.
Lestari berteriak minta tolong. Warga sekitar mengejar pelaku sampai tertangkap. Pelaku kemudian diserahkan ke Polsek Senen untuk diproses hukum. Polisi menetapkan pelaku sebagai tersangka dengan tuduhan melanggar pasal 362 KUHP yaitu pencurian biasa. Setelah diberkas, Polisi menyerahkan kasusnya ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, 22 Maret 2022.
Karena kasus ini akan diselesaikan lewat RJ, maka Wilhemina dan jajaran Kejari Jakarta Pusat mulai bekerja untuk mengumpulkan bukti dan fakta lapangan, yang bisa mendukung dan menjadi alasan kuat perkara ini diselesaikan lewat RJ. Jadi, Jaksa tidak hanya berdasarkan berkas dari Polisi, tapi harus ke lapangan mengumpulkan data, termasuk di antaranya mencari saksi tentang kehidupan tersangka.
Dalam pemeriksaan, tersangka mengaku terpaksa menjambret karena tidak punya uang untuk membayar kontrakan rumah dan membelikan susu untuk anaknya. Jaksa harus mencari bukti bahwa pengakuan tersangka tersebut betul adanya. “Kami tidak mau kecolongan hanya dengan pengakuan tersangka,” kata Wilhemina.
Terjun ke lapangan untuk mengumpulkan bukti yang mendukung kebenaran pengakuan tersangka, menjadi salah satu poin penting dalam setiap pengarahan yang diberikan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Bima Suprayoga pada jajarannya. Arahan itu menjadi pedoman Wilhemina dalam menjalankan tugasnya.
Bima, selalu menekankan pada anak buahnya, bahwa dalam penegakan hukum itu, tidak hanya berpedoman dan mengutamakan pada Kepastian Hukum dari pasal-pasal dalam Undang-Undang, tapi juga, keadilan dan Kemanfaatan. Keadilan itu, tidak hanya berlaku bagi tersangka, tapi juga korban dan keluarga mereka.
Bima menekankan, begitu seseorang menjadi tersangka, harus disadari bahwa keluarga mereka juga kena. Kalau tidak hati-hati, maka akan menjadi “aib” bagi keluarga mereka. Tidak saja saat ini, tapi juga ke depannya, termasuk keturunan mereka kelak. Karena jejak digital pada era ini, tidak bisa dihapus. “Jangan sampai karena kesalahan kita keluarga mereka menanggung aib selama hidup mereka,” kata Bima tegas.
Karena itu, dalam setiap memberi pengarahan, Bima terus mengingatkan petunjuk dari Jaksa Agung bahwa dalam menangani suatu perkara hukum, Jaksa juga harus menggunakan hati nurani. Nah, soal hati nurani ini yang tidak mudah. Sebab yang namanya hati nurani tentu harus digali dan tumbuh di hati masing-masing Jaksa.
“Soal hati nurani ini tidak ada ilmunya dan tidak bisa diajarkan sebagaimana kita mempelajari pasal-pasal pada Undang-Undang. Tidak ada definisi jelas, apa dan bagaimana hati nurani itu. Semua tergantung pada kedewasaan seseorang. Tergantung pada pengalaman dan empati yang mereka miliki. Tergantung pada bacaan mereka sehari-hari. Jaksa harus paham kultur mereka yang terkait dalam perkara tersebut,” kata Bima.
Karena itu, penyelesaian perkara dengan RJ jauh lebih kompleks. Tidak semudah seperti yang dibaca masyarakat lewat media massa, yang hanya menyuguhkan hasil akhir. Sedangkan prosesnya mereka tidak tahu atau tidak paham. Sehingga muncul kesan, seakan penyelesaian perkara lewat RJ lebih mudah.
Bila suatu perkara hukum diselesaikan sebagaimana biasa atau lewat pengadilan, sebetulnya jauh lebih sederhana. Karena, begitu seorang Jaksa menerima berkas perkara dari pihak Kepolisian, Jaksa tinggal meneliti dan mempelajari, apakah pasal-pasal yang dikenakan atau dituduhkan sesuai dengan perbuatan tersangka.
“Kita tinggal membaca difinisi kejahatan yang dilakukan, karena pengertiannya sudah tertulis dengan jelas dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Misalnya apa itu pencurian biasa, apa itu pencurian dengan pemberatan dan sebagainya,” kata Bima Suprayoga.
Begitu duduk perkaranya sudah benar secara prinsip-prinsip hukum, lalu disusun tuntutan hukum, kemudian dilimpahkan ke Pengadilan Negeri. Nanti, dalam proses sidang pengadilan, Jaksa tinggal bertempur mempertahankan dakwaannya untuk bisa dibuktikan di depan Majelis Hakim.
Begitu Hakim memvonis, maka selesai pula tugas Jaksa dalam satu tahap persidangan. Bagi seorang Jaksa, prinsip utamanya adalah menuntut dan menghukum terdakwa berdasarkan bukti-bukti yang ada, saksi-saksi yang mengetahui atau melihat atau menyaksikan pelanggaran hukum yang dilakukan tersangka, serta pasal-pasal yang dilanggar.
Jaksa harus membuktikan bahwa tuduhan yang dikenakan pada seseorang itu terbukti di pengadilan dan terdakwa dihukum, “Di situlah letak kepuasan seorang Jaksa. Golnya adalah pelaku dihukum,” tegas Bima. Bila kemudian, ada kasus yang divonis bebas oleh Hakim, itu sudah masuk ranah Hakim. Jaksa, tinggal memikirkan untuk mencari atau menerapkan langkah hukum selanjutnya sesuai dengan yang diatur Undang-Uundang. Tidak jarang harus menyusun tuduhan dari awal kembali. Itu risiko Jaksa.
Hal sesederhana itu tidak bisa dijalankan dalam menerapkan penyelesaian perkara dengan Restorative Justice atau penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif. Sejak awal perkara dipegang Jaksa, bila ada indikasi bisa diselesaikan lewat RJ, maka Jaksa sudah mengedepankan hati nuraninya. Dalam hal ini, Jaksa sudah bertindak sebagai mediator, bukan lagi penuntut umum.
Dalam melibatkan hati nurani itu, tidak hanya melibatkan empati Jaksa, tapi juga memancing atau mengetuk hati nurani terdakwa atau pelaku, korban dan juga melibatkan keluarga masing-masing. Dengan mengetuk hati nurani pelaku, kita memancing agar pelaku bicara secara jujur dalam mengakui perbuatan. Jangan sampai pelaku mengaku mencuri untuk membeli susu untuk anaknya, ternyata dalam kenyataan mencuri untuk beli minuman keras agar bisa mabuk-mabukan, misalnya.
Di sisi lain, kita juga harus mengetuk hati nurani korban agar dengan ikhlas mamaafkan pelaku dan bersedia menyelesaikan perkara lewat RJ. Masyarakat kita kan banyak juga yang tidak mau terseret dalam proses hukum di pengadilan. Dalam hal ini, pihak kejaksaan juga melihat bahwa barang-barang yang dicuri pelaku, misalnya, sudah kembali secara utuh dan bagi pelaku, tidak akan mengulangi lagi perbuatannya.
Harus disadari, dalam melaksanakan hukuman, kita tidak hanya menghukum tersangka, tapi keluarganya juga ikut menjadi “terhukum” secara tidak langsung. Hukum pidana itu, selalu bermata dua. Di satu sisi, dia harus menegakkan hukum, di sisi lainnya, harus mempertimbangkan aspek-aspek keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat, khususnya keluarga dan anak-anak pelaku.
Karena itu, dalam melaksanakan RJ, Jaksa tidak bisa bertindak sendiri, dia harus melibatkan berbagai pihak termasuk aparat pemerintah setempat. Karena itulah, dibutuhkan Rumah RJ. Di rumah ini, proses penyelesaian perkara bisa dilakukan, juga yang penting adalah penyuluhan dan atau sosialisai hukum untuk masyarakat. Masyarakat juga bisa bertanya soal-soal hukum di rumah RJ tersebut.
Itu juga sebabnya, dalam pelaksanan RJ Jaksa dituntut untuk memahami kultur masyarakat setempat. Dengan pemahaman tersebut, Jaksa bisa melakukan pendekatan pada masyarakat selaras dengan kultur setempat. Sebab, Jaksa menyadari bahwa penyelesaian perkara lewat RJ, melibatkan banyak pihak. Bisa saja korban tidak bersedia untuk memaafkan pelaku. Atau korban bisa memaafkan, tapi keluarga korban bersikeras membawa perkara ke pengadilan.
Karena itu, sebelum Jaksa membawa perkara lewat RJ, Jaksa harus betul-betul bisa membuktikan bahwa pelaku memang melakukan tindak pidana karena terdesak kebutuhan sehari-hari. Seperti halnya kasus Rangga di atas. Pelaku mengaku, menjambret HP karena tidak punya uang untuk mebayar kontrakan rumah dan membeli susus untuk anaknya.
Untuk membuktikan pengakuannya itu benar, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Bima Suprayoga memerintahkan jajarannya untuk mengumpulkan bukti ke lapangan dan tidak langsung percaya saja pada pengakuan pelaku. “Kami juga harus mendalami profil korban, termasuk diantaranya mencari tahu ke kerabat dan juga tetangga tempat tinggalnya.
Dalam mengumpulkan data-data ini, gerakan intelijen diperlukan. Semua kerabat pelaku ditanya soal kondisi pelaku. Juga tetangga pelaku. Terutama pada istri pelaku.
“Kami melakukan profiling pelaku dengan serius,” kata Bima. Di sisi lain, ada juga aparat Kejari Jakarta Pusat, mulai melakukan pendekatan pada korban. Misinya, meyakinkan korban bahwa perkara ini bisa diselesaikan dengan RJ bila korban mau memaafkan pelaku.
Disinilah peran kemanusian dari Jaksa. Jaksa menggunakan hati nuranianya. Sisi humanis pada dirinya. Jaksa harus betul-betul mendapatkan fakta-fakta lapangan untuk mendukung pelaksanaan RJ ini agar tidak salah sasaran. Tentu saja hal ini dilakukan setelah analisis dan penelitian terhadap berkas kasus tersebut yang disimpulkan memenuhi syarat sesuai ketentuannya untuk dilaksanakan RJ, sesuai dengan Petunjuk Jaksa Agung.
Setelah terjadi proses perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat harus melaporkan atau mempresentasikan penyelesaian perkara ini ke Jaksa Agung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum), setelah mendapat izin Kepala Kejaksaan Tinggi. Bila di tingkat JAM Pidum disetujui, maka Kejari Jakarta Pusat melalui Kasi Pidum mengeluarkan surat perkara atas perintah Kajari.
Satu Saja Sudah Luar Biasa
Kompleksitas penyelesaian perkara lewat RJ ini memang membutuhkan kematangan seorang pimpinan, sehingga perkara yang diselesaikan lewat RJ memang betul-betul memiliki alasan yang kuat dan sesuai peraturan Jaksa Agung. Dalam hal ini tidak ada yang namanya mengejar target. “Bagi saya, sesuai tipe yang disandang Kejari Jakarta Pusat, satu perkara yang bisa diselesaikan lewat RJ sudah luar biasa,” kata Kepala Kejari Jakarta Pusat Bima Suprayoga.
Bima memang seorang Jaksa senior yang sudah kenyang dengan pengalaman menangani perkara yang luar biasa besarnya. Sebelum menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Bima sudah dua kali menjadi Kepala Kejaksaan Negeri yaitu di Bagan Siapi-Api, Rokan Hilir, Riau (2015-2918) dan Kajari Tangerang Selatan, Banten (2018-2020).
Bima yang lahir di Solo pada 17 Januari 1973, masuk ke jajaran Kejaksaan pada 1997, setelah menyelesaikan pendidikan S-1 Hukum di Universitas Negeri 11 Maret (UNS) Solo, 1996. Mulanya, setelah lulus, apalagi saat kuliah, Bima belum tertarik menjadi Jaksa. Makanya, setelah lulus dia sempat melamar ke berbagai instansi pemerintah dan swasta. Ia sempat diterima di Badan Pertanahan Nasional dan sudah mendapat Nomor Induk Pegawai (NIP).
Tapi, akhirnya dorongan sebagai penegak hukum lebih kuat dan mendesak hatinya. Karena itu, Bima masuk ke Kejaksaan. Pertama masuk, dia mendapat tempat penugasan di Bagian Pidana Umum Kejaksaan Agung. Sebelum mengikuti pendidikan Jaksa di internal Kejaksaan Agung, Bima kembali ke bangku kuliah, dengan mengambil S-2 di Fakultas Hukum UGM Yogya dan lulus pada 2003. “Saya agak terlambat lulus,” katanya.
Ternyata menjadi Jaksa memang passion Bima. Buktinya, perjalanan karirnya moncer. Bahkan pada 2012 dia dinobatkan sebagai Jaksa Terbaik se Indonesia. Dengan predikat terbaik ini, Bima pun didapuk menjadi salah seorang pengajar di Diklat Jaksa Kejaksaan Agung, disamping tugas pokoknya sebagai Jaksa profesional.
Dilihat dari perjalanan karir dan perkara yang ditangani, Bima memang sudah sangat sarat pengalaman. Perkara-perkara besar pernah ditanganinya, ketika menjadi Kepala Subdit Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung, Bima sebagai Ketua Tim Penuntut perkara Jiwasraya.
Bima dan timnya yang menuntut pelaku korupsi Jiwasraya Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro, dua pelaku utama dalam kasus tersebut dengan hukuman seumur hidup dan dikabulkan Hakim. Selain itu, ke dua terdakwa juga dihukum dengan ganti rugi. “Berhasil menuntut ganti rugi, sebuah kebahagiaan bagi saya. Sekecil apapun, uang itu milik negara dan harus kembali ke negara,” kata Bima.
Bukan itu saja, Bima juga yang menjadi Jaksa Penuntut dalam perkara Djoko Tjandra, Irjen Napeleon Bonaparte, dan kasus-kasus besar yang menjadi perhatian masyarakat. Suami dari Evi Ariyani, adik kelasnya di Fakultas Hukum UNS Solo, ini memang sudah kenyang pengalaman.
Maka itu, setiap melihat satu berkas perkara yang diserahkan oleh pihak Kepolisian, atau yang ditangani langsung Kejaksaan, Bima secara instingtif bisa mengendus perkara tersebut dan cara-cara penyelesaiannya. Makanya, ketika mendapat laporan adanya SPDP kasus Anggara di atas, Bima sudah bisa mengarahkan jajarannya untuk menerapkan Restorative Justice.
Bima memerintahkan Kepala Seksi Pidana Umum, Kejari Jakarta Pusat, Sobrani B. Tambunan untuk menganalisis berkas perkara tersebut. Sobrani kemudian menunjuk Jaksa senior Wilhelmina Manuhutu untuk menangani perkara tersebut. Sebagaimana sudah diceritakan di atas, Wilhelmina juga mempunyai perasaan sama dengan atasannya bahwa perkara tersebut bisa diselesaikan melalui penerapan RJ.
Sobrani menekankan bahwa atasannya tidak pernah mengharuskan dirinya dan Jaksa lainnya untuk mengejar target penyelesaian perkara secara RJ. “Kami tetap menilai dan meneliti sebuah perkara secara obyektif berdasarkan Undang-Undang,” kata Sobrani.
Sobrani seakan sudah tahu jalan pikiran atasannya, Bima Suprayoga. Kebetulan mereka berdua, sering bertugas di daerah yang sama. Pada saat Bima menjadi Kajari Rokan Hilir dan Kepala Kejari Tangerang Selatan, Sobrani menjadi Kasi Pindum di ke dua Kejaksaan Negeri tersebut. Mereka terpisah ketika Bima harus masuk ke jajaran Kejaksaan Agung.
Ketika Bima masuk ke jajaran Jaksa di Kejaksaan Agung, Sobrani melanglang ke Malang Jawa Timur. Sobrani yang lahir di Jakarta pada 28 Februari 1985, meraih gelar Sarjana Hukum di FH Universitas Atmajaya, Jakarta, 2008. Begitu masuk ke Kejaksaan, dia ditugaskan di Pekanbaru, Riau (2009-2011), kemudian dipindah ke Bangkinang, Kampar, masih di Riau pada 2011-2013.
Sebelum bergabung dengan Bima di Kejari Rokan Hilir, sebagai Kasi Pidum, pada 2015, ia sempat menjadi Pj Kasubagbin di Kejari Pelalawan, Riau, pada 2013-2015, berlanjut sebagai Kasi Pidum Tangerang Selatan, 2015-2018. Sobrani yang menikah dengan Yuri Anisa, SH,LLM, ini memang mempunyai darah Jaksa.
Sobrani B. Tambunan adalah salah seorang cucu dari R. Soeprapto, Jaksa Agung yang bertugas mulai tahun 1951-1959. R.Soeprapto yang lahir di Trenggalek, Jawa Timur pada 17 Maret 1896 ini, ditetapkan sebagai Bapak Kejaksaan Indonesia. R. Soeprapto tutup usia pada 2 Desember 1964.
Meski pada dirinya mengalir darah Jaksa, awalnya Sobrani tidak pernah bercita-cita menjadi Jaksa. Ketika kuliah, ia membayangkan dirinya kelak akan menjadi Pengacara. Maka itu, setelah lulus dia sempat bekerja pada sebuah firma hukum, tapi tak lama. Ternyata profesi Jaksa yang tetap menariknya ke dalam.
“Paman-paman saya banyak yang Sarjana Hukum, tapi tak seorangpun mengikuti jejak kakek. Begitu juga dengan saudara sepupu. Saya anak bungsu dari Ibu yang juga bungsu dari anak-anak kakek, yang akhirnya melanjutkan pengabdian kakek sebagai Jaksa,” kata Sobrani.
Dari latarbelakang semacam itu, menjalankan profesi Jaksa agar bermanfaat bagi masyarakat menjadi tujuannya. Kebetulan dia mendapat atasan yang juga punya cita-cita sama, sehingga merasa cocok dan sejalan dalam menjalankan tugas. Maka itu, ketika atasannya tidak memaksakan harus mencapai jumlah perkara tertentu yang harus diselesaikan lewat RJ, dia sangat mendukung.
Memang, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Bima Suprayoga mengaku tidak pernah dan tidak akan meminta jajarannya untuk mencapai angka tertentu jumlah kasus yang harus diselesaikan lewat RJ, hanya gara-gara saat ini sedang marak dilaksanakan.
Sebagai Kajari tipe A, Kejari Jakarta Pusat adalah pusat perkara-perkara besar. Berdasarkan undang-undang, perkara yang terjadi di luar negeri, proses penuntutan juga menjadi tugas Kajari Jakarta Pusat. Sebagai daerah “Ring Satu”, Kejari Pusat bisa dikategorikan sebagai Kejari Internasional atau orang bilang sebagai Kejari tipe A plus.
Karena posisinya tersebut, karakteristik tindak pidananya pun lebih banyak dikategorikan besar dan menarik perhatian masyarakat luas. Tapi, bagi Bima, suatu perkara di mata hukum, tidak bisa digolongkan sebagai perkara besar atau kecil. Semua harus ditangani dengan obyektif dan profesional, berdasarkan asas penegakan hukum, keadilan dan kemanfaatkan.
Justru bagi Bima, ketika Kejari Pusat bisa menyelesaikan sebuah perkara dengan RJ, sudah dinilainya sebagai sesuatu yang luar biasa,. Sebab, jenis tindak pidana di Jakarta Pusat, memang jenisnya berbeda dengan daerah lain. Sangat jarang memang, ada kasus-kasus pidana dengan kerugian kecil yang masuk ke kantornya. Mungkin saja, kasusnya sudah selesai di tingkat Kepolisian.
Jadi, bila di suatu daerah misalnya, banyak perkara yang bisa diselesaikan dengan RJ, mungkin karena jenis tindak pidananya masuk dalam kategori itu. Kalau demikian halnya, patut juga dipertanyakan peran Pemerintah Daerah dalam mencegah munculnya jenis tindak pidana tersebut.
Misalnya, di suatu daerah banyak terjadi tindak pidana pencurian karena pelaku tidak mampu membeli susu untuk anaknya. Artinya, Pemerintah Daerah setempat tidak menjalankan program kesehatan masyarakat atau program perbaikan gizi anak dengan baik. Kalau program bantuan susu untuk bayi dalam rangka perbaikan giizi masyarakat dilakukan, tidak mungkin ada orang mencuri hanya untuk membeli sekaleng susu untuk anaknya.
Atau banyak terjadi pencurian HP, agar anaknya bisa mengikuti pelajaran sekolah secara online saat pandemi Covid-19 ini, contohnya. Tindak pidana ini bisa dilihat sebagai kelelaian Pemerintah Daerah mengantisipasi dan menyiapkan sarana pendidikan yang dibutuhkan. Padahal, pemerintah pusat menyediakan bantuan paket pulsa untuk program tersebut.
Maka itu, sangat jelas RJ ini bermanfaat diterapkan bagi tindak pidana semacam itu, yang semua kereterianya sudah termaktub dalam surat Jaksa Agung. Penyelesaiannya pun harus melibatkan aparat Pemerintah Daerah, agar tindak pidana sejenis itu tidak marak terjadi di suatu daerah. Karena pada dasarnya, terjadinya tindak pidana semacam itu, bukan karena pelakunya penjahat tapi karena terdesak kebutuhkan.
Dalam menangani perkara yang akan diselesaikan dengan RJ, mencari tahu tentang kebenaran pengakuan dan alasan pelaku tindak pidana itu, sangat penting. Jadi harus dibuat profil pelakunya dan itu bisa dilakukan dengan melibatkan masyarakat, misalnya warga sekitar pelaku atau keluarganya. Pengumpulan fakta lapangan tersebut bisa dilakukan secara terbuka atau tertutup. Dengan demikian, penerapan RJ menjadi tepat sasaran yaitu kemanfaatan bagi masyarakat.
Sedikitnya tindak pidana yang diselesaikan di Kejari Jakarta Pusat, juga tidak berarti tindak pidana semacam itu tidak ada. “Cuma yang masuk ke meja kami, memang sangat jarang,” kata Bima Suprayoga. Kemungkinan, jenis tindak pidana semacam itu sudah diselesiakan secara RJ di Kepolisian atau sudah diselesaikan antara pelaku dan korban, sehingga tidak sampai dilaporkan ke aparat penegak hukum.
Nah, disinilah sebetulnya dibutuhkan koordinasi atau sinergi antara pihak Kepolisian dengan Kejaksaan. Pihak Kejaksaan harusnya dilibatkan atau sertidaknya dibertitahu Polisi kalau sedang menangani kasus tertentu yang terjadi di wilayah kerja mereka bersama.
Dengan begitu akan tercipta penyelesaian perkara hukum secara terintegrasi. Kalau kemudian, kasus tersebut tidak sampai ke Kejaksaan, tidak menjadi masalah, karena pihak Kepolisian pun boleh menerapkan RJ.
made/jotz