Jimly Asshiddiqie: Pemberhentian Hakim MK Aswanto oleh DPR Berpotensi Melanggar UU
“Langkah DPR itu berpotensi melanggar undang-undang. Merujuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK, semestinya masa jabatan Aswanto baru selesai pada 2029”
Mata-Hukum, Jakarta – Kabar mengejutkan datang dari Mahkamah Konstitusi (MK). Salah seorang Hakim MK, Aswanto, dicopot dari jabatannya oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Sebagai gantinya, DPR menunjuk Sekretaris Jenderal (Sekjen) MK Guntur Hamzah. Penunjukan ini disahkan melalui rapat paripurna DPR pada Kamis 29 September 2022. Alasan DPR mencopot Aswanto tak kalah mengagetkan. Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto mengatakan, kinerja hakim konstitusi itu mengecewakan lantaran kerap membatalkan produk undang-undang dari DPR.
Padahal, Aswanto merupakan hakim konstitusi yang dulunya terpilih dari usulan DPR. “Tentu mengecewakan dong. Ya gimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR. Kan gitu toh,” kata pria yang akrab disapa Bambang Pacul itu kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat 30 September 2022.
Bambang juga mengatakan, Aswanto tidak memiliki komitmen dengan DPR. Dia pun tak menampik bahwa langkah DPR mencopot Aswanto merupakan keputusan politik. “Dasarnya Anda tidak komitmen. Enggak komit dengan kita. Ya mohon maaflah ketika kita punya hak, dipakailah,” katanya. Kini menjadi polemik, siapa sosok Aswanto sebenarnya? Profil Aswanto Aswanto bukan orang baru di MK. Dia menjabat sebagai satu dari sembilan hakim konstitusi sejak 2014.
Tahun 2019, dia kembali terpilih sebagai hakim MK yang diusulkan oleh DPR. Merujuk pada aturan masa jabatan hakim konstitusi yang baru, sedianya Aswanto menjabat hingga Maret 2029. Dalam jabatan struktural, Aswanto juga pernah dipercaya sebagai Wakil Ketua MK sejak April 2018 hingga September 2021.
Sebelum menjadi hakim konstitusi, pria kelahiran Palopo, Sulawesi Selatan, 17 Juli 1964 ini lama berkecimpung di bidang pendidikan. Dilansir dari laman resmi MK RI, Aswanto menuntaskan studi S1 di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, pada 1986. Dia lantas melanjutkan studi S2 di Universitas Gadjah Mada dan lulus tahun 1992. Gelar S3 Aswanto raih dari Universitas Airlangga pada 1999. Selain itu, tahun 2022, Aswanto juga mengantongi gelar diploma Kedokteran Forensik dan Hak Asasi Manusia dari Institute of Groningen State University, Belanda.
Kiprah Aswanto di dunia pendidikan diawali dengan menjadi staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar. Kariernya moncer hingga berhasil menjadi Dekan Fakultas Hukum di universitas tersebut selama 2010-2014. Selain di Universitas Hasanuddin, Aswanto juga pernah mengajar di program S2 Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar dan Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKIP) Makassar.
Tahun 2014 menjadi masa awal Aswanto menjabat sebagai hakim konstitusi. Lima tahun setelahnya, dia kembali terpilih sebagai hakim MK usulan DPR bersamaan dengan terpilihnya Wahiduddin Adams. Aswanto dan Wahiduddin dipilih dari sebelas calon hakim yang mengikuti proses seleksi secara terbuka. Belum tuntas masa jabatannya, Aswanto kini tiba-tiba saja dicopot oleh DPR. Langgar UU Pencopotan Aswanto secara mendadak menuai kritik dari banyak pihak.
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie menilai, langkah DPR itu berpotensi melanggar undang-undang. Merujuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK, semestinya masa jabatan Aswanto baru selesai pada 2029. “Dengan tindakan dari DPR kemarin, hasil kerja dari Komisi III yang disahkan di paripurna itu sama dengan perwakilan rakyat Indonesia memecat hakim konstitusi bernama Profesor Aswanto tanpa dasar dan melanggar prosedur hukum,” kata Jimly saat dihubungi, Jumat (30/9/2022).
Jimly pun menyarankan agar Presiden Joko Widodo tidak menindaklanjuti keputusan DPR itu dan tak menerbitkan keputusan presiden (keppres) terkait pemberhentian Aswanto ataupun mengangkat hakim penggantinya. Menurut Jimly, bila Jokowi menerbitkan keppres pemberhentian Aswanto, perkara ini rawan digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena dinilai tak berdasar. “Dasarnya tidak ada, prosedur dilangkahi dengan semena-mena dan sewenang-wenang. Maka jauh lebih baik bagi presiden tidak menerbitkan Keppres sama sekali,” kata dia. kompas.com/matahukum/rid