Mata Hukum, Jakarta — Sejak menjabat sebagai Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) kerap dihadapkan pada tuduhan bahwa ijazah pendidikannya, mulai dari SD, SMP, SMA, hingga S1 dari Universitas Gadjah Mada (UGM), diragukan keasliannya. Polemik ini mencuat sejak 2019, dengan tuduhan bahwa Jokowi tidak pernah menunjukkan dokumen asli ijazahnya kepada publik, meskipun UGM telah mengklarifikasi bahwa ia lulus pada 1985 dengan skripsi berjudul “Studi Tentang Pola Konsumsi Kayu Lapis Pada Pemakaian Akhir di Kotamadya Surakarta”.
Namun skeptisisme tetap bergulir, terutama karena Jokowi enggan memperlihatkan ijazah aslinya, berbeda dengan pendekatan beberapa pemimpin dunia dalam menghadapi keraguan serupa.
Sebagai perbandingan, mantan Presiden AS Barack Obama dengan cepat menunjukkan akta kelahirannya pada 2011 ketika keabsahan kewarganegaraannya dipertanyakan oleh gerakan birther. Obama mempublikasikan dokumen asli di situs resmi Gedung Putih, mengakhiri spekulasi dengan transparansi. Pemimpin lain seperti Angela Merkel, mantan Kanselir Jerman, juga dikenal terbuka soal rekam pendidikannya, dengan universitasnya, Universitas Leipzig, mengonfirmasi gelar doktor fisikanya tanpa keraguan.
Lee Hsien Loong dari Singapura dikenal terbuka soal rekam pendidikannya dari Universitas Cambridge, dengan dokumen yang mudah diverifikasi. Demikian pula, mantan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, yang pernah mempromosikan “intervensi konstruktif” di ASEAN, tidak menghadapi keraguan serius soal kualifikasi akademiknya dari Universitas Malaya, meski sempat dipenjara atas tuduhan politik.
Sebaliknya, ada pemimpin seperti Vladimir Putin, yang riwayat pendidikannya dari Universitas Leningrad kerap diselimuti misteri, dengan tuduhan bahwa beberapa dokumennya disembunyikan untuk memperkuat narasi politiknya.
Beberapa pemimpin Asia cenderung menyembunyikan informasi. Kim Jong-un dari Korea Utara, misalnya, memiliki riwayat pendidikan yang samar, dengan laporan bahwa ia belajar di Swiss di bawah nama samaran, namun tidak ada dokumen resmi yang dipublikasikan.
Hal serupa terjadi pada beberapa pejabat tinggi di Tiongkok, di mana informasi pribadi sering dikontrol ketat untuk menjaga narasi politik. Tujuan penyembunyian ini biasanya untuk memperkuat legitimasi, menghindari kritik, atau mencegah pengungkapan kelemahan yang bisa dimanfaatkan lawan politik.
Sikap menyembunyikan dokumen, seperti yang dituduhkan pada beberapa pemimpin, sering bertujuan untuk mempertahankan legitimasi politik atau menghindari pengungkapan kelemahan pribadi. Namun, dalam era digital, ketidaktransparanan justru merusak kepercayaan publik.
Kasus Jokowi menunjukkan bahwa kejujuran pemimpin tetap krusial untuk menjaga integritas, sementara ketidakjelasan dokumen hanya memperpanjang kontroversi. Di tengah kompleksitas politik modern, pemimpin yang jujur dan terbuka, seperti Obama, cenderung lebih mampu meredam keraguan dibandingkan mereka yang memilih diam atau menipu.
jotz