Junimart Girsang Ungkap Maraknya Praktik KKN di Pemilihan Panwaslu hingga Pelanggaran Pidana Pemilu

0
junimart girsang

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Junimart Girsang. (matahukum/farid)

“Bahwa fakta di lapangan, banyak petinggi Bawaslu daerah yang tidak tunduk pada Bawaslu pusat. Hal itu bisa terjadi karena adanya praktik transaksional dalam pengisian jabatan Bawaslu daerah”

Mata-Hukum, Jakarta – Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P Junimart Girsang mengungkapkan fakta adanya praktik transaksional dalam proses pengisian jabatan di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) daerah. Hal tersebut disampaikan Junimart Girsang dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II DPR bersama penyelenggara Pemilu, Selasa 15 November 2022.

Awalnya, Junimart menyebut adanya panitia pengawas pemilu (Panwaslu) yang terpilih atas dasar Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN). “Praktek di lapangan pak, yang terpilih Panwaslu itu banyak dasarnya itu KKN, yang dasarnya tidak paham pak. Ini praktek kok, di lapangan banyak itu pak. Tolong itu dikoreksi pak ketua dan teman-teman komisioner,” kata Junimart dalam rapat, Selasa.

Kemudian, Junimart mengatakan bahwa fakta di lapangan, banyak petinggi Bawaslu daerah yang tidak tunduk pada Bawaslu pusat. Menurutnya, hal itu bisa terjadi karena adanya praktik transaksional dalam pengisian jabatan Bawaslu daerah.

“Saya punya bukti banyak kalau mau, saya mau lapor polisi ini pak. Pak Bagja (Ketua Baswaslu) tolong ini dicermati lah. Jadi, jangan jabatan-jabatan Bawaslu itu, termasuk KPU dibuat jadi ajang transaksional,” ujar Junimart. Ia menyayangkan hal tersebut karena mengklaim bahwa petinggi Bawaslu pusat tidak terpilih oleh Komisi II atas dasar transaksional.

Junimart kemudian mengingatkan, Komisi II ingin seluruh penyelenggara Pemilu bersih dari praktik tersebut. “Tapi di bawah ini (Bawaslu daerah) pak, di bawah ini dikoreksi pak Bagja. Panggilin semua pak gitu. Jadi tidak segampang itu orang bisa menjadi ketua bawaslu provinsi, ketua bawaslu kabupaten/kota, dan Panwaslu. Karena garda terdepan itu pak, panwaslu,” katanya.

Kemudian, Junimart menegaskan bahwa menjadi bagian dari Panwaslu atau Bawaslu di daerah bukan ajang untuk mencari kekayaan. “Bukan cari makan pak, apalagi cari kaya,” ujar politisi PDI-P itu lagi.

Debat Panas di Komisi II DPR Gegara Roh Kerja Bawaslu

Pimpinan Komisi II DPR RI – Ahmad Doli Kurnia (tengah) bersama Junimart Girsang (kiri) dan Saan Mustofa saat memimpin rapat. (istimewa)

Selain soal KKN, Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart Girsang juga mempersoalkan kepada Ketua Bawaslu Rahmat Bagja terkait pelanggaran pidana pemilu. Junimart mencecar Bawaslu lantaran banyak pelanggaran pidana pemilu yang berhenti di penyidikan polisi dan kejaksaan.

“Ini tadi mengenai Bawaslu, ketika Bawaslu menemukan temuan, tentu kan pembahasan, ketika dalam pembahasan dalam model three partied, mereka katakan naik ke penyidikan. Setelah naik ke penyidikan itu berhenti, Pak, apa sikap Bawaslu di sini? Ini yang perlu, maka saya tanya roh kerja Bawaslu ini di mana? Gitu,” kata Junimart kepada Bawaslu saat rapat dengar pendapat, di gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa 15 November 2022.

Junimart menanyakan ke Bawaslu apakah selama ini dilibatkan dalam penyidikan pelanggaran pidana pemilu. Menurutnya, jika tidak terlibat, maka Bawaslu memberi peluang pelanggaran pidana pemilu dihentikan.

“Ini kan sudah oke three partied, naik penyidikan, nah pertanyaan saya apakah dalam penyidikan Bawaslu masih ikut nggak? Tidak ikut kan? Ya kan? Artinya memberi peluang kepada mereka untuk menghentikan, ini di mana peran Bawaslu? Ini yang perlu, jadi jangan Bawaslu yang keria dari bawah, three partied nyatakan oke ke penyidikan, naik ke penyidikan SP3, Pak. Ini gimana menyikapinya? Kan sudah FGD juga, dibicarakan nggak itu? Tolong Pak Bagja,” ujar Junimart.

Rahmat Bagja lantas menjawab pertanyaan Junimart. Namun, jawaban Bagja dipotong oleh Junimart.

“Izin, Pak, kalau di penyidikan, menurut undang-undang, kami tidak punya kewenangan untuk baik menghentikan atau melanjutkan, karena…,” jawab Bagja.

“Begini, Pak, saya potong, Pak, ini kan sebelum naik penyidikan kan tentu dari Bawaslu, yang saya pahami selama ini ketika Bawaslu menemukan temuan pelanggaran pidana pemilu tentu koordinasi dong dengan penyidik, naik ke penyidik, Pak, berhenti di penyidik. Itu satu,” ujar Junimart menyela Bagja.

Junimart lalu menanyakan lagi apakah selama bertemu dengan Polri dan Kejaksaan persoalan itu ditanyakan. Dia melihat banyak pelanggaran pidana pemilu yang justru dimakan rayap ketika proses penyidikan.

“Kedua tadi dikatakan Bawaslu sudah melakukan FGD, dan apa lah bentuknya dengan kepolisian dan kejaksaan, ada nggak dibicarakan ini? Ini ada nggak dibicarakan? Jadi jangan Bapak cari bahan, naik ke atas, di sana akhirnya dimakan rayap bahannya, kira kira gitu halusnya, dimakan rayap,” tegas Junimart.

Bagja lalu menjawab Junimart bahwa Bawaslu tidak punya kewenangan melanjutkan dan menghentikan penyidikan. “Izin karena masalah penyidikan dan penuntutan diatur dalam KUHAP, dalam ketentuan UU Pemilu, jadi diserahkan kepada jaksa dan polisi, untuk meneruskan atau tidak, kami kemudian diajak bicara, dulu ada namanya forum sentra gakkum 1, 2, 3, 4, jadi evaluasi aja kami diajak berbicara kenapa ini lanjut dan tidak lanjut,” jawab Bagja.

Junimart lalu menyoroti peran Bawaslu. Dia mengaku heran lantaran Bawaslu tidak berdaya pada penegakan hukum padahal anggaran yang dipakai untuk bagian itu besar.

“Gini loh Pak Bagja, saya bukan mau debat kusir, Pak, ini kan praktik tahun 2019 dan tahun 2014, ini sering, Pak, bahkan menurut saya itu bukti sudah A1 konkret semua, berhenti, Pak, sedangkan anggaran Bawaslu itu gede untuk gakkum ini, masa bisa berhenti? Ya kan. Kenapa waktu FGD atau pertemuan lain ini tidak disepakati? Mestinya naik penyidikan terus, mesti begitu, Pak, baru Bawaslu punya roh, kalau tidak percuma,” kata Junimart.

Bawaslu Akui Belum Ada Pakem Aturan Money Politics Bentuk Uang

Ketua Bawaslu Rahmat Bagja. (istimewa)

Tidak hanya Junimart yang kritisi kinerja Bawaslu, anggota Komisi II DPR Fraksi PAN Guspardi Gaus juga menyoroti uang transportasi untuk timses yang dianggap bentuk money politics. Bawaslu mengungkap saat ini memang belum ada aturan pakem terkait money politics dalam bentuk uang.

Hal itu disampaikan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja usai rapat dengar pendapat bersama Komisi II DPR. Dia awalnya menyebut Bawaslu tidak berwenang membuat aturan atau standar soal uang transportasi dan akomodasi selama masa kampanye.

“Itu tergantung KPU, PKPU menyusun standar transportasi dan akomodasi saat pelaksanaan kampanye, iya dong, Bawaslu tidak bisa berwenang untuk itu, itu diserahkan kepada KPU, berapa sih standarnya?” kata Bagja kepada wartawan, Selasa 15 November 2022.

Bagja menyampaikan pada pemilu dulu money politics diatur dalam bentuk non tunai senilai Rp 75 ribu. Dia menyebut aturan itu juga sebetulnya tidak aplikatif di lapangan.

“Dulu kalau nggak salah Rp 75 ribu ya, senilai dengan Rp 75 ribu atau Rp 50 ribu antara itu, tapi Rp 75 ribu kalau tidak salah, kemudian apakah dalam bentuk uang? KPU bilang tidak dalam bentuk uang, seperti apa tidak bentuk uang, itu tidak kemudian aplikatif di lapangan,” ucapnya.

“Misalnya, anda dikasih dalam bentuk literan bensin, mungkin nggak? Kan nggak mungkin, voucher, ketika di Jakarta dekat SPBU, di Sumatera jauh-jauh, berapa kilometer baru ketemu SPBU. Nah itu tidak aplicable di lapangan,” lanjut dia.

Karena itu lah, Bagja menilai memang perlu duduk bersama antara KPU, Bawaslu dan DKPP untuk menentukan standar soal money politics. Setelah ada standar yang diatur, dia menyebut penegakkan hukum baru bisa dilakukan.

“Misalnya teman teman caleg undang pertemuan, mereka (yang diundang) nggak kerja sehari, hayo, padahal mereka pendapatan harian, gimana pengaturannya? Ini harus diatur diomongin bersama, pendekatan ke masyarakat seperti apa, pendekatan ke caleg seperti apa, kita harus pertemukan sehingga kemudian yang di luar Rp 50 ribu money politics berarti, sudah tidak ada pengampunan money politics masuk ke sentra gakkum, masuk tindak pidana pemilu,” ujarnya.

Bagja menyebut saat ini persoalan money politics dalam bentuk uang juga masih menjadi perdebatan lantaran belum ada aturan pakem soal itu, sedangkan money politics dalam bentuk non uang juga sulit diterapkan. Dia menyebut persoalan ini akan dirundingkan lebih jauh.

“Belum ada pakemnya, pakemnya adalah bentuk non uang. Kan bingung, nanti makanan senilai berapa nih? Rp 50 ribu, Rp 30 ribu, atau berapa? Itu voucher makanan di resto mana, kan nggak mungkin juga, dan itu yang paling susah transport, dan juga uang tadi apakah penghasilan per hari ini bisa diganti atau tidak,” tutur dia.

“Yang perlu kita awasi misalnya ada rapat umum di daerah itu ada pembagian transport, hanya di wilayah itu harusnya, tidak boleh kemudian ke RT sebelah yang tidak ada acara, masuk money politics ini, itu tugas pengawas awasi lingkungan sekitarnya,” sambung dia.

Dari berbagai sumber/matahukum/rid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *