“Menko Bidang Kumham Imipas Yusril Ihza Mahendra: Persoalannya karena ini menyangkut negara-negara lain, pertimbangan kemanusiaan, dan lain-lain. Orang mengajukan grasi dan lain-lain kepada presiden, akibatnya banyak sekali hukuman mati itu yang tertunda pelaksanaannya,”
Mata Hukum, Jakarta – Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta telah menuntut hukuman mati terhadap 19 bandar narkoba selama tahun 2024 dan di tahun ini sebanyak 11 bandar barang haram tersebut dituntut hukuman yang sama.

“Di tahun 2024, ada 19 yang kita tuntut mati. Kemudian di 2025 sampai bulan April ini ada 11 kita tuntut mati,” kata Kepala Kejati (Kajati) DKI Jakarta Patris Yusrian Jaya saat ditemui di Jakarta, Kamis 8 Mei 2025.

Patris juga menyebutkan, pihaknya berkomitmen menindak tegas para bandar narkoba dengan hukuman maksimal.
“Kami berkomitmen bahwa terhadap bandar, pengedar, apalagi produsen ini harus diberikan hukuman berat. Jika perlu hukuman mati agar memberikan efek jera,” katanya.
Dalam pertemuan bersama Komisi III DPR RI dan Polda Metro Jaya, Patris menjelaskan, pihaknya telah membahas berbagai hal mengenai penanganan perkara narkoba.
“Tadi berdiskusi mengenai penyelesaian kasus kasus narkoba melalui jalur persidangan di persidangan dan melalui jalur rehabilitasi untuk para pemakai pengguna ataupun dalam hal ini kita anggap sebagai korban,” katanya.
Patris juga menggarisbawahi untuk para pengguna narkoba yang berstatus sebagai korban, secara maksimal akan digunakan upaya-upaya “restorative justice” melalui rehabilitasi.
“Namun kita juga harus menemukan satu pola yang tepat jangan sampai dengan adanya anggapan bahwa pemakai ini adalah korban dan akan direhabilitasi apabila tertangkap,” katanya.
Dia juga menganggap jangan sampai masyarakat menganggap menggunakan narkoba ini bukan hal yang berisiko karena nanti apabila tertangkap akan direhabilitasi.
“Ini juga harus kita imbangi dengan penyuluhan bahayanya narkoba bagi kesehatan dan bahaya narkoba ini bagi kelangsungan generasi muda kita,” kata Patris.
Patris juga menyebutkan saat pertemuan dengan Komisi III DPR RI sudah memberikan arahan kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI untuk pelaksanaan tugas-tugas ke depan agar dapat dilaksanakan secara maksimal.
Menko Yusril Ungkap Alasan 300 Terpidana Mati Belum Dieksekusi

Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra mengatakan sebanyak 300 terpidana mati belum dieksekusi Kejaksaan Agung (Kejagung) antara lain karena terganjal hubungan diplomasi dengan negara lain.
Pakar hukum tata negara itu menyebutkan eksekusi hukuman mati, terutama kepada warga negara asing (WNA), berkaitan dengan hubungan Indonesia dengan banyak negara, dan biasanya mempertimbangkan pula arahan dari presiden.
“Persoalannya karena ini menyangkut negara-negara lain, pertimbangan kemanusiaan, dan lain-lain. Orang mengajukan grasi dan lain-lain kepada presiden, akibatnya banyak sekali hukuman mati itu yang tertunda pelaksanaannya,” kata Yusril saat ditemui usai peluncuran novel Irian Barat: Bayang-bayang Intrik Global di Balik Misteri Pembunuhan Kennedy karya Yusron Ihza Mahendra di Jakarta pada Kamis, 6 Februari 2025, seperti dikutip dari Antara.
Yusril mengatakan terus berkoordinasi dengan Kejagung perihal eksekusi mati narapidana, terutama terhadap WNA. Adapun Kejagung merupakan pihak yang berwenang melakukan eksekusi mati terhadap narapidana.
Apalagi, kata dia, belakangan terdapat beberapa kebijakan pemulangan WNA terpidana mati ke negara asalnya, seperti Mary Jane Veloso yang merupakan warga negara Filipina serta Serge Areski Atlaoui yang berasal dari Prancis.
Sebelum proses pemindahan WNA terpidana mati, Yusril menyebutkan telah mengirimkan surat kepada Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin yang menyatakan pemerintah atas persetujuan dan arahan Presiden Prabowo Subianto akan memulangkan yang bersangkutan ke negaranya, sehingga tidak dilakukan eksekusi terhadap narapidana yang dijatuhi hukuman mati tersebut. “Karena, pada akhirnya, mengenai pertimbangan narapidana dieksekusi mati atau tidak maupun dilakukan transfer of prisoners ke negara asalnya, semuanya merupakan arahan dari Pak Presiden,” tuturnya.
Sebelumnya, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengungkapkan terdapat 300 terpidana yang dijatuhi hukuman mati, yang kebanyakan merupakan WNA. Dia mengatakan WNA terpidana mati tersebut mayoritas adalah terpidana kasus narkoba yang berasal dari Eropa, Amerika, dan Afrika (Nigeria). Dalam menindak para terpidana, kejaksaan bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri (Kemlu).
Namun, menurut dia, hukuman tersebut sulit dilaksanakan karena dalam prosesnya harus mempertimbangkan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara lain. “Kami pernah beberapa kali bicara, waktu itu menteri luar negerinya masih Ibu (Retno Marsudi). Dia mengungkapkan kalau mereka masih berusaha menjadi anggota ini, anggota ini. ‘Tolong jangan dahulu, nanti kami akan diserang’,” kata Burhanuddin di Jakarta pada Rabu, 5 Februari 2025.
Dia menuturkan pemerintah juga mempertimbangkan nasib warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi terpidana di negara lain. “Jadi memang saya bilang, capek-capek kami sudah menuntut hukuman mati, tidak bisa dilaksanakan. Itu mungkin problematika kita,” ujarnya.
Hingga Februari 2025, 326 Orang Dituntut Hukuman Mati Kasus Narkoba

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Asep Nana Mulyana mengatakan, hingga Februari 2025, pihaknya telah melakukan penuntutan hukuman mati terhadap 326 orang atas kasus narkotika. Hal ini disampaikan sebagai bentuk tindakan tegas penegak hukum melawan peredaran narkotika di Tanah Air.

“Jadi, saat ini, kami telah melakukan penuntutan kurang lebih 326 orang pidana mati,” kata Asep, dalam konferensi pers di Kantor Badan Narkotika Nasional (BNN), Jakarta Timur, Senin 3 Maret 2025 yang lalu.
Asep mengungkapkan, jumlah terpidana dengan tuntutan hukuman mati paling banyak berasal dari DKI Jakarta, yakni sebanyak 83 orang.
Setelah itu, ada 44 terpidana dari Aceh dan 43 dari Sumatera Utara.
Asep tak memerinci jumlah terpidana dari daerah lain yang juga dituntut hukuman mati.
Selain itu, ia memaparkan berbagai jenis tuntutan hukuman lainnya, yakni hukuman seumur hidup dan 20 tahun penjara. “Kami sudah menuntut total 66 (terpidana) seumur hidup, dan 36 (orang) pidana 20 tahun,” ungkap dia.
Asep menyoroti betapa pentingnya penegak hukum dan mengawasi soal kemungkinan adanya tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas tindak pidana narkotika.
Asep menegaskan komitmen Kejaksaan Agung untuk menelusuri kemungkinan adanya TPPU terkait kasus narkotika. “Kami juga terus mengupayakan dengan teman-teman, baik Bareskrim maupun BNN, di samping menindak dan memberikan efek jera pada pelaku, terutama bandar, pengedar, dan jaringan, kami juga mengoptimalkan TPPU-nya sehingga tidak hanya follow the suspect, tapi juga follow the money dan follow the asset,” pungkas dia.