“Ketegasan Lopa menolak hadiah tak cuma parsel. Bahkan hal-hal sederhana yang sering dianggap lazim sebagai tanda pertemanan pun ditolaknya”
Mata-Hukum, Jakarta – Banyak pejabat negeri ini terlibat kasus hukum akibat gratifikasi, suap dan lain sebagainya. Ada kisah menarik bagaimana seorang pendekar hukum Indonesia sangat anti pada hadiah dan suap.
Pendekar hukum Baharuddin Lopa yang pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung di era Presiden Gus Dur (Abdurahman Wahid). Baharuddin Lopa merupakan sosok pejabat dikenal tegas, bersih dan antikorupsi.
Sejak masih menjadi jaksa, Lopa sudah menyatakan aparat hukum tidak boleh menerima hadiah apapun.
Ada kisah menarik saat Lopa menjabat Kepala Pusat Diklat Kejaksaan RI (1976-1983). Saat itu para jaksa yang sedang mengikuti pelatihan ingin mengirimkan parsel untuk Lopa. Mereka meminta salah satu pegawai di Pusdiklat menunjukkan rumah Lopa.
Pegawai tersebut sudah paham sikap keras Lopa. Dia sebenarnya takut, tapi karena terus dirayu oleh para jaksa itu akhirnya menurut juga. Berangkatlah mereka ke rumah Lopa di kawasan Mampang, Jakarta Selatan.
Diusir di Pagar
Benar saja. Begitu melihat ada siswa diklat datang dengan membawa parsel berisi buah, Pak Lopa langsung mengusir mereka. Bahkan dia tidak mau membukakan pintu pagar rumah.
“Pulang kau, ayo cepat pulang, pulang kau!” teriak Baharuddin Lopa ke arah pagar.
Tangannya dikibas-kibaskan mengusir mereka. Sedemikian antinya Lopa pada hadiah.
Hal ini dikisahkan dalam buku Apa dan Siapa Baharuddin Lopa yang diterbitkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan RI tahun 2012.
Dianggapnya parsel adalah awal dari kehancuran yang lebih besar bagi penegak hukum. Pertama mau menerima parsel, lalu lama-lama mau menerima pemberian lain yang lebih besar. Uang, mobil, wanita. Hancurlah hukum kalau seperti itu kelakuan pejabatnya.
Melihat garangnya Lopa, para jaksa tersebut ketakutan. Mereka langsung masuk mobil dengan gemetaran dan berkeringat dingin.
Sekadar Bensin Pun Tak Sudi
Ketegasan Lopa menolak hadiah tak cuma parsel. Bahkan hal-hal sederhana yang sering dianggap lazim sebagai tanda pertemanan pun ditolaknya.
Suatu hari saat Pak Lopa menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi, beliau mengadakan inspeksi ke Kejari Majene. Saat memerintahkan sopirnya mengisi bensin, ternyata tangki mobil sudah penuh.
Menurut sopir, tadi sudah ada utusan dari Bupati Majene yang mengisi tangki mobil dinas tersebut. Baharuddin Lopa pun marah besar. Sopir itu kena damprat.
Tak main-main, disuruhnya bensin itu disedot dan dikembalikan lagi pada sang pemberi tadi. Hal ini jadi pelajaran juga agar sopirnya berhati-hati terhadap pemberian orang lain.