28.9 C
Jakarta
19.05.2025
Mata Hukum
Home » Korupsi: Dari Kita, Oleh Kita, Untuk Mereka
Opini

Korupsi: Dari Kita, Oleh Kita, Untuk Mereka

Hanya segelintir orang yang menikmati hasil dari sistem yang korup. Para politisi, pejabat, dan elit bisnis yang berkolusi dalam praktik korupsi tetap bisa hidup nyaman, bahkan setelah tertangkap.

Helga Maria Evarista Gero
Dosen Sosiologi FISIP Undana, Kupang

***

KORUPSI di Indonesia bukan sekadar tindakan kriminal; ia telah menjadi budaya yang mengakar, melebur dalam keseharian kita.

Fenomena ini tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menghancurkan moralitas sosial.

Ironisnya, korupsi terjadi dengan partisipasi berbagai pihak, termasuk kita sebagai masyarakat.

Dari Kita: Partisipasi yang Tak Disadari

Masyarakat sering kali mengeluh tentang korupsi, tetapi tanpa sadar juga ikut terlibat dalam praktiknya.

Dari memberikan uang pelicin untuk mempercepat urusan administratif, memilih pemimpin berdasarkan politik uang, hingga membiarkan pejabat korup tetap berkuasa tanpa konsekuensi nyata—semua ini menjadi bahan bakar bagi siklus korupsi yang terus berjalan.

Kita terbiasa dengan normalisasi pungutan liar, suap, dan nepotisme sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.

Sikap permisif ini menjadi ladang subur bagi para koruptor. Dalam lingkungan yang menganggap suap sebagai “kewajaran”, integritas dengan mudah dikorbankan demi kepentingan pribadi.

Maka, ketika ada skandal korupsi besar yang terungkap, kita hanya bisa marah sesaat, lalu kembali ke kebiasaan lama tanpa perlawanan berarti.

Oleh Kita: Sistem yang Memfasilitasi Korupsi

Liga korupsi di Indonesia seolah menjadi kompetisi tanpa akhir. Institusi-institusi negara, khususnya BUMN, kerap menjadi “pemain inti” dalam liga ini.

Sebut saja skandal besar yang mengguncang PLN, Pertamina, Jiwasraya, Asabri, dan berbagai BUMN lainnya.

Pertama, PLN dan Skandal Listrik. Dalam kasus PLTU–1 di Kalimantan Barat, praktik suap yang melibatkan pejabat tinggi PLN dan sejumlah politisi menggambarkan bagaimana proyek strategis nasional menjadi lahan bancakan bagi elit korup.

Kedua, kasus dugaan korupsi mafia migas di PT Pertamina Patra Niaga. Tata kelola minyak mentah yang dilakukan Pertamina Patra Niaga telah lama disinyalir menjadi ladang korupsi.

Mulai dari penggelembungan harga hingga permainan tender, semuanya merugikan negara dalam jumlah 1 kuadriliun rupiah.

Ketiga, kasus Jiwasraya dan Asabri menjadi pukulan telak bagi kepercayaan masyarakat terhadap BUMN.

Dana nasabah dan pensiunan tentara yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan, justru dikorupsi dengan modus investasi bodong.

Total kerugian negara mencapai lebih dari Rp 23 triliun, sementara para koruptor hanya dihukum sejenak sebelum kembali menikmati hasil jarahannya.

Data Transparency International menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia turun naik, dari skor 40 pada 2019 menjadi 34 pada 2023 dan kembali meningkat 3 poin ke angka 37 di tahun 2024.

Ini menegaskan bahwa upaya pemberantasan korupsi belum cukup efektif, terutama dengan melemahnya kewenangan KPK pasca-revisi UU KPK tahun 2019.

Untuk Mereka: Siapa yang Menang?

Dalam skema besar ini, jelas bahwa hanya segelintir orang yang menikmati hasil dari sistem yang korup.

Para politisi, pejabat, dan elit bisnis yang berkolusi dalam praktik korupsi tetap bisa hidup nyaman, bahkan setelah tertangkap.

Sementara itu, masyarakat yang menjadi korban harus menanggung mahalnya biaya listrik, harga BBM yang terus naik, serta kepercayaan yang kian menipis terhadap institusi negara.

Lihat saja bagaimana hukuman bagi koruptor di Indonesia sering kali lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan kecil lainnya.

Mereka tetap bisa menikmati hidup mewah di dalam atau luar penjara, dengan uang hasil korupsi yang tak seluruhnya dikembalikan.

Fenomena ini semakin memperkuat anggapan bahwa hukum di Indonesia tumpul ke atas, tetapi tajam ke bawah.

Akhir ‘Season’ Liga Korupsi

Meskipun korupsi telah menjadi endemik, masih ada harapan untuk mengubah keadaan.

Beberapa langkah konkret yang harus diambil adalah pertama, reformasi total dalam pengelolaan BUMN. Digitalisasi dan transparansi keuangan harus menjadi prioritas.

Semua pengadaan dan pengelolaan anggaran harus dapat diakses oleh publik secara real-time untuk meminimalisir potensi korupsi.

Kedua, penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Hukuman bagi koruptor harus lebih berat, termasuk penyitaan seluruh aset hasil korupsi.

Tidak boleh ada kompromi atau diskon hukuman bagi mereka yang telah merampok uang rakyat.

Ketiga, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan. Masyarakat harus lebih aktif dalam melaporkan dan menolak segala bentuk korupsi, mulai dari level terkecil hingga kasus besar.

Keempat, pendidikan anti-korupsi sejak dini. Menanamkan nilai-nilai kejujuran dan integritas sejak dini akan membantu membentuk generasi yang lebih sadar akan pentingnya antikorupsi.

Jika langkah-langkah ini dijalankan dengan sungguh-sungguh, kita bisa mengakhiri liga korupsi yang selama ini hanya menguntungkan segelintir orang.

Jangan biarkan korupsi terus menjadi “dari kita, oleh kita, untuk mereka.”


Berita Terkait

Keadilan Restoratif Menuju Keadilan Sosial

Farid Bima

Satu Dekade Pesta Kebodohan

jotz

Darurat Peradilan: “Pengawasan Hakim Jangan Dibajak Lembaga Berperkara”

Farid Bima

Leave a Comment