28.9 C
Jakarta
19.05.2025
Mata Hukum
Home » Mengapa Prabowo Anggap Enteng Siswa Keracunan MBG?
NewsPolitik

Mengapa Prabowo Anggap Enteng Siswa Keracunan MBG?

Pernyataan ini dinilai merendahkan korban, yang mayoritas anak-anak dari keluarga kurang mampu. Sikap ini memperlebar jarak emosional antara presiden dan rakyat, terutama orang tua siswa yang khawatir.

Mata Hukum, Jakarta – Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut kasus keracunan massal siswa akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) “bukan masalah besar” menuai kecaman tajam.

Dalam Sidang Kabinet Paripurna, 5 Mei 2025, Prabowo dengan enteng mengklaim program MBG sukses 99,99%, dengan “hanya” 200 dari 3 juta siswa keracunan, atau 0,005%. Ia bahkan menyalahkan siswa, menyebut mereka tidak pakai sendok, tak cuci tangan, atau “belum biasa” minum susu. Sikap ini dinilai arogan dan tak berempati.

Fakta di lapangan menyingkap kegagalan manajemen MBG. Di Bombana, 53 paket makanan berbau amis akibat ayam krispi busuk. Di Cianjur, 78 siswa MAN 1 dan SMP PGRI 1 keracunan, dengan laboratorium menemukan bakteri Escherichia coli dan Salmonella. Kasus serupa berulang di Sukoharjo, Sumba Timur, hingga Bogor, menunjukkan pengawasan distribusi dan kualitas pangan yang buruk. “Nyawa anak bukan statistik! Pemerintah gagal lindungi siswa,” tegas Bhima Yudhistira dari Celios.

Banyak warga geram dan menyebut Prabowo “lelet tangani krisis” dan “tak peduli rakyat”. Anak-anak muntah dan diare, tapi presiden bilang ‘bukan masalah’? Ini memalukan,” tulis akun @PeduliPendidikan.

Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana mengakui “masalah teknis” dan berjanji memperketat prosedur, tapi langkah ini dianggap terlambat.

Publik menuntut Prabowo hentikan pembelaan kosong dan evaluasi total MBG. Transparansi, pengawasan ketat, dan penghentian distribusi makanan tak layak harus segera dilakukan. Jika pemerintah terus abai, MBG bukan hanya gagal, tapi menjadi bencana nasional yang mencoreng janji kampanye Prabowo. Nyawa siswa bukan bahan coba-coba kebijakan!

Kontroversi Prabowo

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut keracunan siswa akibat program MBG “bukan masalah besar” mencerminkan sikap yang kontroversial. Prabowo kemungkinan berupaya meredam sorotan negatif terhadap MBG, salah satu janji kampanye utamanya. Dengan mengklaim tingkat keberhasilan 99,99% dan menyebut 200 kasus keracunan dari 3 juta penerima sebagai angka kecil (0,005%), ia mencoba membingkai masalah sebagai anomali. Namun, pendekatan ini justru memicu backlash.

Prabowo menyalahkan siswa—seperti tidak menggunakan sendok, tidak mencuci tangan, atau “belum biasa” minum susu—tanpa bukti kuat. Ini menunjukkan sikap yang kurang empati dan mengabaikan realitas sosial, seperti keterbatasan fasilitas sanitasi di sekolah atau kurangnya edukasi penerima program. Pernyataan ini dinilai merendahkan korban, yang mayoritas anak-anak dari keluarga kurang mampu. Sikap ini memperlebar jarak emosional antara presiden dan rakyat, terutama orang tua siswa yang khawatir.

Dari perspektif manajerial, pernyataan Prabowo mencerminkan minimnya akuntabilitas. Kasus keracunan di Bombana, Cianjur, Sukoharjo, dan daerah lain, dengan temuan bakteri seperti Escherichia coli dan Salmonella, menunjukkan masalah sistemik dalam pengolahan, distribusi, dan pengawasan pangan. Alih-alih mengakui kelemahan dan menawarkan solusi konkret, Prabowo memilih narasi defensif. Meski Kepala Badan Gizi Nasional menyebut adanya perbaikan prosedur, sikap Prabowo yang meremehkan masalah dapat menghambat urgensi reformasi internal.

Secara etis, meremehkan keracunan anak-anak—dengan gejala seperti muntah dan diare—adalah tindakan yang sulit dibenarkan. Bhima Yudhistira dari Celios menegaskan bahwa “nyawa anak bukan statistik”. Dengan memfokuskan pada angka keberhasilan ketimbang penderitaan korban, Prabowo menunjukkan prioritas yang keliru. Ini bertentangan dengan prinsip kepemimpinan yang berpusat pada kesejahteraan rakyat, terutama kelompok rentan seperti anak sekolah. Ia cenderung mengabaikan nilai kemanusiaan.

Sikap Prabowo mencerminkan kombinasi strategi komunikasi politik yang keliru, kurangnya empati sosial, kegagalan manajerial, dan kelemahan etis. Alih-alih membangun kepercayaan, pernyataannya memicu kemarahan publik dan memperburuk persepsi terhadap MBG.

Untuk memulihkan situasi, Prabowo perlu mengakui kesalahan, meminta maaf, dan menunjukkan tindakan nyata, seperti evaluasi menyeluruh program dan sanksi bagi pihak yang lalai. Tanpa langkah ini, kepercayaan publik terhadap kepemimpinannya dan program MBG akan terus tergerus.

berbagai sumber/jotz

Berita Terkait

Petinggi Golkar Sebut Tak Ada Sangkut Paut Soal Ridwan Kamil Digeledah KPK

Farid Bima

Tahan Orang Tak Bersalah, Lalu Diperas, Kapolsek Jempang Dicopot dan Terancam Dipecat

Farid Bima

Pendiri Artha Graha Tomy Winata Ikut Dampingi Jokowi Lepas Bantuan Kemanusiaan untuk Pakistan

Farid Bima

Leave a Comment