JAM Pidum Dr Fadil Zumhana “Pagi Hari Pikiran dan Hati Masih Jernih”

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Dr Fadil Zumhana [realita]
SUDAH lebih dua tahun ekspose perkara Keadilan Restoratif (Restorative Justice) berlangsung tiap pagi, tiap hari. Dan tidak main-main, semua gelar perkara itu dipimpin langsung oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Dr Fadil Zumhana. Ini bukan perkara mudah. Apalagi jumlah perkara RJ yang ditangani Kejaksaan sudah lebih dari 3500.
Kenapa harus ekspose RJ pagi-pagi? “Karena saat pagi itu kejernihan manusia muncul. Karena apa yang kami putuskan menyangkut nasib dan harkat manusia orang per orang,” begitu jawaban Fadil saat wawancara khusus dengan Mata-Hukum di ruang kerjanya, awal Juli lalu.
Sebagai penuntut, Fadil sudah berpengalaman 33 tahun lebih. Sudah tinggi jam terbangnya dan sudah banyak makan asam garam. Makanya ia dipercaya Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk menjadi komandan yang menangani seluruh perkara RJ.
Berikut petikan wawancara khusus:
Sudah dua tahun ekspose RJ berlangsung tiap hari dan tiap pagi, mulai jam 7 pagi. Apa pertimbangannya?
Tentu ada pertimbangan kami di sini.
Saat pagi itu kejernihan manusia muncul. Karena apa yang kami putuskan menyangkut nasib dan harkat manusia orang per orang.
Pagi-pagi itu kan suasana batin kita masih jernih, saat itulah saat yang terbaik untuk membuat keputusan buat manusia. Itu alasan saya ekspose RJ pagi-pagi. Karena yang kami berusaha semaksimal mungkin memutuskan keadilan yang substansial buat manusia dan masyarakat bangsa.
Bukan hal yang mudah dalam memutuskan keadilan buat manusia ini. Maka kejernihan pikiran, ketajaman hati nurani harus ada dalam memutuskan segala hal yang berkaitan dengan manusia. Kalau agak siang pikiran sudah terisi dengan hal-hal lain. Akan kusut. Coba kalau jam 1 atau jam 2 siang, pikiran kita sudah tercampur dengan hal-hal lain. Tidak akan fokus, tidak dalam. Karena yang kita pakai adalah hati nurani.
Pemimpin ketika harus memutuskan sesuatu untuk kepentingan bersama, batinnya harus tenang dulu, harus jernih. Kalau batinnya sedang berkecamuk akan sulit mendapatkan keputusan untuk kepentingan bersama. Makanya kalau mengambil keputusan sore beda dengan mengambil keputusan pada pagi hari. Karena pagi masih segar fisik, batinnya masih teduh, mentalnya jernih. Kondisi seperti itu akan mendukung ketika kita memutuskan sesuatu untuk manusia. Ini keputusan yang adil buat manusia, buat masyarakatnya. Kami memutuskan manusia yang harkat dan martabatnya harus dilindungi. Jaksa-jaksa saya bimbing untuk itu semua.
Bayangkan kalau jaksa hatinya tidak kita perhalus budinya, mengasah ketajaman batin, ini kan bagian tugas memberikan keadilan. Memang sulit. Kata-kata ini mudah diucapkan tapi sulit dilaksanakan. Pisau bisa diasah, batin pun bisa diasah. Makanya jaksa saya minta untuk mengetahui profil lengkap korban, pelaku dan masyarakatnya. Ketika orang miskin yang tinggal di pinggir kali mencuri, isterinya hamil, manusiawikah dia melakukan pencurian? Atau masyarakatnya, tetangganya yang tidak manusiawi, karena tidak memperhatikan keadaaan yang dihadapi pelaku dan keluarganya. Manusiawi ga kalau kita tidak menuntut dia? Ya bagaimana, keadaanlah yang memaksa dia mencuri. Maka untuk mengasah ketajaman batin jaksa, saya minta kajari dan jaksa turun ke bawah, untuk mengetahui kenapa rakyatmu sampai mencuri? Kamu kan mewakili negara di sana. Jangan-jangan ga ada beras. Makanya sering kajari bawa beras saat turun.
Karena pemberian keadilan itu bukan hanya pada saat kita memberikan keputusan atas masalahnya tapi kita harus juga mengetahui akar masalahnya. Tahu akar masalahnya kita selesaikan masalahnya mudah-mudahan dia tidak mengulangi perbuatannya. Ada sentuhan dari jaksa di situ. Kau jangan mengulangi lagi ya, karena sudah disentuh batinnya. Makanya ketajaman batin seorang jaksa sangat diperlukan untuk mewujudkan keadilan.
Dan sudah 3000 lebih yang diekspose. Tidak semua dikabulkan, ada yang saya tolak. Kalau saya pandang tidak memberikan keadilan substansial akan saya tolak.
DPR juga bertanya, kenapa ekspose RJ harus sampai tingkat JAM Pidum? Kenapa tidak cukup hanya di level Kejaksaan Negeri atau Kejaksaan Tinggi saja?
Bapak Jaksa Agung menjawab bahwa saya bisa bagi waktu. Lalu ditanya kenapa ekspose harus mulai dari jam 7 pagi? Karena jam 9 ke atas sudah ekspose internal (perkara-perkara yang ditangani JAM Pidum selain RJ). Saya tidak mau kegiatan ekspose internal saya terganggu. Tapi tahu tidak apa dampaknya? Sekarang daerah masuknya pagi-pagi. Dari Kajati sampai Kajarinya masuk pagi.
Itu juga pendidikan dan disiplin. Karena mereka belum terbiasa ekspose pagi-pagi. Mana ada sebelumnya ekspose jam 7 pagi?

Mengapa Kejaksaan terkesan selektif menangani perkara RJ? Dua tahun ini hanya 3500 lebih perkara, sementara Kepolisian sudah menangani perkara RJ lebih dari 15 ribu perkara.
Pertama-tama, dalam menangani perkara RJ kami sangat selektif. Saya ingin menjaga kualitas dari produk hukum yang kami keluarkan. Saya sering sampaikan ke kejari-kejari bahwa produk hukum kita dalam memutuskan satu perkara tidak sama seperti produk hukum pengadilan. Produk hukum kita ini tidak boleh menimbulkan kegoncangan atau kegaduhan.
Banyak juga perkara RJ yang ditolak. Misalnya, ketika orang mencuri kotak amal di masjid. Itu bukan soal berapa besar yang dicurinya, tapi karena tingkat ketercelaannya tinggi. Di rumah Tuhan masih tidak ada takutnya, tidak ada rasa hormatnya, bagaimana dia di rumah biasa? Makanya ditolak permohonan RJ-nya walaupun syarat-syaratnya terpenuhi. Secara substansial kami lihat ini orang tidak bisa diperbaiki, karena di rumah Tuhan dia berani mencuri, bagaimana jika di rumah rakyat biasa? Kita di rumah Tuhan ada rasa takut dan hormat walau Tuhan tidak terlihat. Tapi ini ada orang yang tidak takut di rumah Tuhan maka di rumah siapapun dia tidak takut. Maka orang seperti itu tidak bisa di-RJ-kan. Itu tingkat ketercelaannya tinggi.
Seluruh kasus pencurian kotak amal saya tolak. Memang syarat terpenuhi tapi tingkat ketercelaan kejahatannya tinggi. Jaksa-jaksa pemohon melihat syarat, kami di sini melihat yang substantial. Itu yang dibilang, kajari tatarannya syariat, kami di sini sudah filosofis, makrifat, melihat yang substansial. Melihat hakikat, timbullah kebenaran hakikat tadi. Kajinya tinggi ini.
Apa dasar pertimbangan Anda dalam menangani perkara RJ?
Keadilan kita (di kejaksaan) beda dengan keadilan di pengadilan. Saya selalu bilang itu. Pengadilan itu keadilan formal. Lihat saja, manakala ada putusan pengadilan, di satu sisi pasti ada pihak yang merasa tidak adil, makanya ada upaya hukum, mulai dari banding, begitu terus sampai kasasi, Peninjauan Kembali (PK). PK pun masih bisa di-PK. Namun dalam perkara RJ kita tidak ada upaya hukum, karena keadilan yang kita putuskan adalah keadilan substansial. Materiil. Terasa. Dan keadilan yang saya berikan ini tanpa stigma. Beda dengan di persidangan, ada terdakwa ada terpidana.
Contoh, ada perkara yang sama-sama mencuri. Satu diterima satu lagi ditolak permohonannya. Makanya saya minta kajari profiling, turun ke lingkungan masyarakat, siapa dia yang akan kita hentikan kasusnya itu? Bagaimana kehidupannya sehari-hari? Apakah benar dia orang baik? Apakah dia jahat karena terpaksa? Bagaimana kita bisa tahu semua itu kalau kita tidak mem-profiling. Saya ingin tahu profil lengkap semuanya.
Akhirnya kajari turun ke masyarakat. Cari tahu seperti apa kehidupannya di masyarakat. Apakah memang dia sering bikin gaduh tapi belum pernah dipidana? Ataukah memang kehidupannya susah, tidak ada yang memperhatikan? Kehidupan yang tidak ada yang memperhatikan inilah yang menjadi tugas kita. Kenapa? Karena itu saya sampaikan kepada kajari-kajari, negara harus hadir dalam kehidupan masyarakat. Wujud kehadiran negara itu apa? Yaitu dapat memberikan keadilan dalam segala bidang.
Dengan adanya perdamaian kan kedua belah pihak senang, korban senang pelaku senang. Contoh orang kecurian HP. Mana yang lebih senang dia: dibalikkan HP-nya atau si pencurinya dipenjara? Kan lebih senang HP-nya balik. Buat apa si pencurinya dipidana tapi HP-nya tidak kembali.
Namun apakah dengan adanya perdamaian itu permohonan RJ-nya kemudian diterima? Belum cukup. Kalau saya lebih jauh lagi, masyarakat pun dapat menerima. Jangan sampai kita memberi keputusan yang akan menimbulkan kegaduhan atau kegoncangan di masyarakat. Itu sebab saya minta jajaran saya untuk sangat selektif. Case by case.
Keadilan yang materiil dan substansial ini karena didasarkan dari adanya perdamaian di masyarakat. Perdamaian inilah cikal bakal RJ. Kenapa ada perdamaian? Karena masyarakat yang dirugikan tadi ikut terlibat memberi pertimbangan.
Paradigma RJ ini apakah sudah dipahami jajaran Kejaksaan di seluruh Indonesia?
Makanya saya bilang, kalau seorang kajari hanya melihat syariat, hanya melihat syarat, kalau kami di sini melihat hakikat, substansi. Itu yang saya bilang pandangan kajari pendek, kajati agak jauh, tapi kami di sini sudah lebih jauh, lebih ke hakikat.
Memang harus dalam kajinya, orang sampai ke hakikat itu harus dalam, itu semua karena Allah. Di usia kami yang sudah tua ini, di sisa pengabdian kami, kami ingin meninggalkan legacy, kami ingin meninggalkan sesuatu yang baik untuk Indonesia. Penegakan hukum dengan hati nurani ini harus dirasakan, bukan hanya didengar saja tapi bisa dirasakan masyarakat. Kami tidak mau ini hanya sebatas retorika. Lidah kita bisa bicara apapun, yang kasar diperhalus bisa, yang halus diperkasar bisa, sok-sok tegas tapi sesungguhnya tidak tegas bisa pakai lidah itu. Makanya dalam hal memberikan keadilan kami sungguh-sungguh, tidak main-main.
Proses ini mengubah karakter penegak hukum. Hasilnya sudah mulai terasa.
Silakan Anda lihat, apakah selama dua tahun ini muncul perkara-perkara seperti Nenek Minah? Kakek Samirin? Tidak ada kan. Itu karena jaksa sudah bekerja dengan hati, tidak dengan otak saja. Dulu jaksa bekerja hanya dengan otak, melihat syarat, dilimpahkan ke pengadilan. Padahal dalam KUHAP (Pasal 139), jaksa diberi kewenangan dalam pelimpahan perkara, dia bisa melimpahkan atau tidak melimpahkan, karena itu kewenangan dia (dominus litis).
Jaksa Agung bilang perkara RJ ibarat pohon yang ranum buah. Banyak celah yang bisa dimanfaatkan jaksa-jaksa nakal.
Makanya saya berani bilang: kalau ada jaksa saya yang menyalahgunakan kewenangan dalam RJ ini, main-main memanfaatkan RJ ini, saya akan jatuhkan sanksi terberat. Copot! Saya udah gak kasihan lagi, karena mereka tidak menghargai produk RJ ini, orang seperti itu ngapain dikasihani lagi.
Kita harus tegas. Saya sudah lama jadi jaksa. Sesungguhnya anak-anak kita ingin berubah, cuma itu tidak terwadahi, tidak ada role model. Teladan ini perlu. Makanya saya bilang ke kajari, kau harus jadi role model di wilayahmu, kajati kau harus jadi role model di provinsi. Gubernur, bupati bisa melihat kau seperti apa. Kewibawaan institusi bukan hanya melihat apa kewenangan yang dimilikinya, tapi bagaimana dia menggunakan kewenangan yang dimilikinya itu. Bukan karena apa yang dimilikinya, tapi bagaimana ia menggunakan kewenangan itu. Itu yang membuat institusi berwibawa.
Ketika kewenangan itu dipergunakan dengan baik dan bijaksana, Anda akan berwibawa. Tapi jika kewenangan yang diberikan UU Anda salahgunakan, Anda mengancurkan kewibawaan institusi.
jotz