Pengadilan Negeri Bogor Kabulkan Kasus Pemerkosaan Pegawai Kemenkop Dihentikan
“Wakil Ketua LPSK: Jadi kami melihat merujuk pada perkap 6 2019 maupun KUHAP pasal 109 ayat 2 soal menghentikan penyidikan itu keduanya tidak terpenuhi. Kalau kemudian ada kekurangan kekeliruan di proses penghentian kenapa harus dibebankan kepada korban untuk praperadilan dua-duanya”
Mata-Hukum, Jakarta – Pengadilan Negeri (PN) Bogor mengabulkan permohonan praperadilan kasus dugaan pemerkosaan terhadap pegawai honorer Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) saat melakukan dinas luar kantor di salah satu hotel di Kota Bogor.
Praperadilan ini diajukan oleh tiga pegawai Kemenkop UKM yang menjadi tersangka pemerkosaan dengan nomor perkara 5/Pid. Pra/2022/ PN Bogor.
Pengadilan Negeri Bogor dalam putusannya yang dikeluarkan pada Kamis, 2 Januari 2023, mengabulkan permohonan para pemohon. PN Bogor menyatakan penetapan tersangka tiga orang tersebut tidak sah. Pengadilan juga menyatakan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dengan nomor SPPP/813/B III/ RES. 24/1/2020 yang dikeluarkan Polres Bogor Kota pada 1 Januari 2020 sah.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisaian Resor Kota Bogor Kota Komisaris Polisi (Kompol) Rizka Fadhila mengatakan pihaknya sudah mendapat informasi putusan praperadilan tersebut. “Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang sempat dicabut kembali pun dianggap sah,” kata dia.
“Untuk hasil praperadilan itu, kan, hakim PN mengabulkan pemohon. Mengesahkan penghentian perkara yang dilakukan penyidik Satreskrim Polresta Bogor Kota pada 2020, seperti itu,” kata Kompol Rizka, pada wartawan, Selasa 17 Januari 2023.
Rizka mengatakan sudah mendapatkan salinan putusan yang dikeluarkan oleh PN Bogor. Pihaknya kini akan berkoordinasi dengan pihak Wadik Kepolisian Daerah Jawa Barat. “Untuk menentukan apa langkah upaya hukum atau penyidikan yang akan diambil,” kata dia.
Dugaan pemerkosaan terhadap pegawai Kemenkop UKM ini sempat dihentikan atau dikenai SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). Namun, sempat dibuka kembali atas desakan publik.
LPSK Ungkap Alasan Kasus Pelecehan Seksual di Kemenkop UKM Dibuka Lagi
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Edwin Partogi Pasaribu mengungkapkan pihaknya telah menyurati Kementerian Politik, Hukum, dan HAM (Kemenkopolhukam) atas kasus dugaan pelecehan seksual di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM). Dalam suratnya tersebut LPSK meminta agar penyidikan ini dibuka kembali setelah di-SP3 oleh Polisi.
Saat dihubungi, Edwin menyebut pihaknya telah menyurati Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo. LPSK pun sudah pergi ke Polresta Bogor dan Polda Jabar untuk meminta supaya perkara ini dibuka kembali tanpa menggunakan mekanisme praperadilan.
“LPSK menyurati Menkopolhukam meminta supaya ada perhatian pada perkara ini yang di-SP3 ini. Kami minta agar perkara ini bisa dibuka kembali tanpa proses praperadilan,” kata Edwin saat dihubungi Selasa 22 November 2022.
Edwin mengungkapkan penghentian penyidikan dalam mekanisme internal kepolisian ini menjadi membebani korban. Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3 ini tidak berprespektif korban.
Jika merujuk KUHAP, disampaikan Edwin, penghentian penyidikan ini biasa dilakukan karena beberapa hal. Di antaranya, jika tidak memiliki alat bukti yang cukup, bukan perkara pidana, pelaku meninggal, dan lain-lain. Padahal dalam kasus ini semua hal itu mencukupi.
Selain itu, penghentian penyidikan ini juga tidak sesuai peraturan Polisi (Perpol) atau Peraturan Kapolri (Perkap).
“Karena dihentikannya 2020 rujukannya Perkap 6 tahun 2019 tentang tindak pidana disitu juga ada hal-hal yang sebenarnya terlanggar dari perkap itu disebutkan pelanggarannya tidak relatif tidak berat. Itu kan ancaman pidananya sampai 9 tahun, artinya ini tindak pidana berat. Dan itu juga bukan delik aduan, ini kan delik umum. Kejahatan pemerkosaan ini delik umum,” kata dia.
Kemudian secara peraturan internal kepolisian, kata Edwin, melarang dihentikannya kasus kalau sudah dikirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan ke penuntut umum. Dalam kasus ini, surat ini telah sudah dikirimkan sejak Desember 2019.
“Jadi kami melihat merujuk pada perkap 6 2019 maupun KUHAP pasal 109 ayat 2 soal menghentikan penyidikan itu keduanya tidak terpenuhi. Kalau kemudian ada kekurangan kekeliruan di proses penghentian kenapa harus dibebankan kepada korban untuk praperadilan dua-duanya,” kata dia.
Keluarga korban sebelumnya telah melaporkan hal ini kepada LPSK. LPSK meresponsnya dengan bertemu dengan keluarga korban dan melakukan asesmen internal. Selain itu, ia pun sempat bertemu Menkop UKM Teten Masduki. “Sudah ketemu Pak Teten, Pak Teten juga sudah melakukan opsi pemecatan terhadap pelaku,” kata Edwin.