Polisi
SEHAT tidaknya sebuah negara bisa diukur dari hubungan polisi dengan masyarakatnya.
Jika polisinya biasa berbaur akrab dengan masyarakat dan si warga selalu tersenyum merasa aman, itu artinya situasi negara sehat-sehat saja. Sangat sehat.
Tapi bila masyarakatnya tidak bisa dan tidak mau bicara terbuka dengan polisi, hanya berani bisik-bisik di belakang punggung aparat keamanan mereka, itu tanda ada sesuatu di negara tersebut. Waspadalah…
Bila masyarakatnya ketakutan melihat polisi berseragam, yang segera menghindar jauh-jauh dari si polisi, itu artinya negara itu sedang gawat. Jika bisa, segeralah pergi dari negara itu.
Polisi adalah barometer suatu negara.
Waktu Nicolae Ceausescu menjadi presiden Rumania sejak 9 Desember 1967 dan kemudian menjadi diktator 22 tahun, ia menjadikan polisi sebagai alat represi kepada rakyatnya. Polisi Ceausescu akan menangkap dan mengadili siapa saja yang dianggap membangkang pemerintah. Gerak-gerik oposisi dipantau ketat, bahkan dilumpuhkan.
Kita pernah juga mengalami mimpi buruk. Pada 1916 pemerintah kolonial Hindia-Belanda membentuk Politieke Inlichtingen Dienst (PID) alias Dinas Intelijen Politik. Kantor dan agen-agen PID umumnya ditempatkan di kota-kota yang dianggap sarang oposan dan pergerakan politik radikal seperti Batavia, Bandung, Semarang atau Surabaya. Waktu itu rakyat bumipoetra selalu menghindari PID.
Semasa Orde Baru peran polisi praktis ada di bawah bayang-tentara. Karena penguasa rezim Orba dipegang tentara. Mulai dari presiden, ketua lembaga tinggi negara sampai pejabat daerah tingkat camat pun harus persetujuan tentara. Di masa itu institusi kepolisian masuk dalam struktur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Posisinya anak bawang.
Reformasi membuka peran modern polisi Indonesia. Ia dikeluarkan dari struktur ABRI dan mulai mandiri di bawah Presiden. Polri mulai mengelola anggarannya sendiri. Menjadi besar karena mulai mengembangkan diri dan mengadakan peralatannya sendiri.
Namun sejak 2017 polisi Indonesia mulai terasa menakutkan. Ia mulai menjadikan diri sebagai alat politik penguasa. Lama kelamaan terasa polisi kembali seperti di masa penjajahan kolonial dulu. Atau bahkan jadi securitate Nicolae Ceausescu.
Polisi Indonesia seharusnya sudah keluar dari budaya militeristik dan membangun karakter sipil sebagai “a civilian in uniform“. Transisi ini yang sedang ditagih. Sebagai “polisi sipil” tentu saja polisi Indonesia diharapkan menempatkan diri secara proposional, kapan ia harus bertindak sebagai “a strong hand of society” dan kapan harus bertindak dengan karakter “a soft hand of society“.
Supaya warga tidak bisik-bisik di belakang polisi. Dan jangan sampai kabur ke luar negeri.
jotz