Dukungan pemerintah Sulut terhadap acara ini dinilai sebagai intervensi yang membahayakan kebebasan pers, karena mendukung satu organisasi jurnalis yang berkonflik dan melemahkan legitimasi profesi wartawan.
Mata Hukum, Manado – Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulawesi Utara versi Kongres Luar Biasa (KLB) yang digelar singkat di Gedung Bank Sulut Gorontalo, Manado, Rabu (30/4) memicu kontroversi tajam.
Acara yang dihadiri Asisten I Sekretariat Daerah Sulut Denny Mangala dan Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Infokom) Steven E Liow itu dinilai sebagai dukungan terang-terangan pemerintah terhadap organisasi jurnalis ilegal. Sikap ini melanggar UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan melecehkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang legalitas PWI.
Ketua PWI Sulut sah Voucke Lontaan mengecam keras Gubernur Yulius Selvanus Komaling (YSK) atas dukungan ini, menyebutnya sebagai “blunder fatal” yang mencoreng integritas pemerintahan.


Rakerda PWI versi KLB, yang dipimpin Vanny Laupatty—figur yang keanggotaannya di PWI telah gugur karena Kartu Tanda Anggota (KTA) tidak diperpanjang selama 10 tahun—dianggap ilegal. KLB sendiri telah dinyatakan melanggar Peraturan Dasar/Peraturan Rumah Tangga (PD/PRT) PWI oleh PWI Pusat di bawah Hendry Ch Bangun. SK Menkumham hanya mengakui PWI hasil Kongres Bandung 2023, bukan KLB.
Dukungan pemerintah Sulut terhadap acara ini dinilai sebagai intervensi yang membahayakan kebebasan pers, karena mendukung satu organisasi jurnalis yang berkonflik dan melemahkan legitimasi profesi wartawan.
Selain itu, dugaan pencatutan nama Gubernur YSK oleh Vanny Laupatty menunjukkan lemahnya koordinasi dan verifikasi di lingkaran pemerintahan. Voucke Lontaan bahkan mencium ada motif politik di baliknya.
Kebebasan pers terancam ketika pemerintah mendukung organisasi jurnalis abal-abal. UU Pers menegaskan bahwa pers harus independen, bebas dari campur tangan kekuasaan. Dukungan terhadap PWI KLB menciptakan preseden buruk: pemerintah bisa memihak pada kelompok tertentu untuk mengendalikan narasi media. Ini membuka peluang penyalahgunaan wewenang, seperti pengaturan liputan atau tekanan terhadap wartawan yang kritis.
Akar masalahnya, banyak kepala daerah, termasuk di Sulut, tidak memahami UU Pers. Kurangnya literasi hukum dan pendidikan tentang peran pers membuat pejabat rentan melakukan blunder seperti ini, sering kali demi kepentingan politik atau hubungan pribadi.
Minimnya pelatihan hukum pers di kalangan pejabat daerah, ditambah sikap apatis terhadap regulasi, menjadi penyebab utama. Banyak kepala daerah lebih fokus pada citra publik ketimbang memahami batas-batas kewenangan mereka.
Sebaliknya media kerap menyediakan diri jadi agen pemerintah karena ketergantungan finansial dan tekanan politik. Banyak media lokal kesulitan bertahan akibat minimnya iklan dan langganan, mendorong mereka mengejar dana hibah pemda sebagai “jalan pintas”. Hibah ini sering disertai ekspektasi tak tertulis: liputan yang memihak atau sensor terhadap isu sensitif. Alih-alih menyuarakan kesulitan publik, media justru menjadi corong propaganda demi menjaga hubungan dengan pemda. Independensi pers terkikis, kepercayaan publik runtuh. Kurangnya regulasi ketat soal hibah dan lemahnya etika jurnalistik memperparah situasi, membuat media lebih loyal ke penguasa ketimbang rakyat.
Pemerintah Sulut harus segera klarifikasi dan tarik dukungan dari PWI KLB. Tanpa tindakan tegas, kebebasan pers di Indonesia akan terus terkikis dan pemerintah daerah akan jadi duri dalam daging demokrasi.
jotz
____