Ridwan Kamil Ditolak Sejumlah Warga dan Tokoh Jakarta, Ini Kata Seniman Betawi
“Budayawan sekaligus sastrawan Betawi, Yahya Andi Saputra: Tokoh-tokoh yang mendekat kepada mereka adalah tokoh yang enggak punya idealisme kebetawian yang benar. Mereka menjual Betawi untuk tujuannya. Mereka pemain sesaat dan oportunis”
Mata Hukum, Jakarta – Muhammad Amrullah, musisi Betawi kontemporer yang dikenal sebagai Kojek Betawi mengatakan penolakan sejumlah warga Jakarta terhadap Ridwan Kamil (RK) terjadi karena sejumlah hal. Misalnya, kata dia, RK pernah dianggap pernah menyindir Jakarta hingga menghina klub sepak bola Persija.
Penolakan terhadap RK, kata Amrullah, juga terkait program yang dia bawa seperti akan mendukung agenda reklamasi yang berpihak pada kepentingan penggede. “Kalau gue secara pribadi sebagai orang Betawi atau Jakarta dan juga suporter Persija menolak keras RK jadi gubernur Jakarta. Tidak ada RK untuk Jakarta. Dulu menghina, sekarang ngemis suara. Sorry ye,” ujarnya.
Dia berharap agar gubernur Jakarta terpilih nantinya dapat memberikan kontribusi yang besar bagi masyarakat Betawi, termasuk di bidang kesenian dan kebudayaan. Dia meminta para bakal calon untuk memberikan program konkrit untuk memajukan masyarakat Betawi.
“Saya menantang ketiga paslon ini untuk bertemu dan menjelaskan visi misi mereka dan komintmennya tentang Betawi,” kata dia yang mengaku pendukung Anies Baswedan.
Dia juga berharap pengganti Anies Baswedan memiliki visi dan misi yang jelas dalam memajukan Jakarta. “Angan dan impian harus lebih besar dari seorang Anies Baswedan. Dan, (program) bisa diimplementasikan agar warga juga bisa menilai. Yang cuma omon-omon doang mah sorry ye,” ucapnya.
Budayawan sekaligus sastrawan Betawi, Yahya Andi Saputra, mengatakan pasangan calon mendekati pemilih dengan berbagai cara. Misalnya, mendekatkan citra dekat dengan budaya Betawi menggunakan busana hingga adu pantun.
“Tapi, yang terlihat oleh kebanyakan orang Betawi cuma gimik,” kata Yahya dalam pesan tertulisnya kepada Tempo melalui aplikasi WhatsApp pada Senin, 9 September 2024.
Yahya menyebut segala upaya itu hanya untuk mengerek elektabilitas paslon. Dia mengkritik soal penggunaan kesenian Betawi yang tak sesuai standar. “Kadang nyakitin kalau enggak sesuai aturan atau pakem,” ujarnya.
Lebih lanjut, peneliti di Lembaga Kebudayaan Betawi itu turut mengingatkan agar masyarakat Betawi tidak terjebak pada penokohan tertentu yang dibangun masing-masing bakal calon. Selain itu, dia menilai para tokoh yang maju juga merupakan figur-figur lama yang tak banyak membawa gagasan baru untuk warga Betawi.
“Tokoh-tokoh yang mendekat kepada mereka adalah tokoh yang enggak punya idealisme kebetawian yang benar. Mereka menjual Betawi untuk tujuannya. Mereka pemain sesaat dan oportunis,” tuturnya.
Penolakan terhadap Ridwan Kamil di Pesta Demokrasi Jakarta Viral di Media Sosial
Warga Jawa Barat gembira Ridwan Kamil atau Kang Emil keluar dari Jawa Barat. Ia gagal memimpin Jawa Barat sebagai Gubernur. Ketika awal digadang-gadang menjadi Cagub di Jawa Barat suara penolakan kencang. Dari soal masjid Al Jabbar, bansos, mesin parkir hingga patung menjadi masalah yang menderanya. Dari Jabar memang harus out.
Ternyata penampungannya justru Jakarta. Tokoh yang pernah menghina warga Jakarta ini dilempar ke sini. Pendukung bobotoh yang biasa versus The Jakmania kini demi politik diusung untuk memimpin squad Jakarta.
Jakmania menolak untuk mendukung Kang Emil. Berbagai seruan seperti “Jakarta bukan untuk Ridwan Kamil”, “Jakarta boikot Ridwan Kamil”, “Emang rela Jakarta dipimpin bobotoh ?” menghiasi poster-poster.
Saat menghadiri Haul Mbah Priok hari minggu tanggal 1 September, Ridwan Kamil yang memberi kata sambutan ternyata diteriaki jama’ah “huuu, turun, turun”, bahkan ada teriakan “Anies, Anies, Anies”. Ridwan Kamil memilih turun setelah melihat respons penolakan “Priok bukan rumah ente, woi pulang woi”.
Di media sosial nampak video seorang menulis pada dinding kain putih “Jakarta Anti Ridwan Kamil”.
Tidak mudah mantan Gubernur Jabar Ridwan Kamil untuk menundukkan masyarakat Jakarta mengingat track record yang jauh dari pijakan asalnya. Ridwan yang mencoba mengganti panggilan dari Kang Emil menjadi Bang Emil nampaknya sia-sia.
Di Jawa Barat suara “Tolak Ridwan Kamil” menggema, kini saat masuk Jakarta teriakan itu lebih nyaring lagi untuk menolaknya. Ia bukan figur bagus yang layak dipuja atau dielu-elukan. Kelasnya biasa-biasa saja. Menjadi seperti istimewa akibat permainan media dalam membangun pencitraan. Tidak ada prestasi yang dirasakan saat memimpin Bandung apalagi Jawa Barat.
Gerakan Coblos Semua atau lebih khusus Jakarta Anti Ridwan Kamil merupakan pelajaran penting bagi elit politik di Indonesia yang berambisi membangun budaya politik mendahulukan kekuasaan ketimbang kerakyatan. Elit yang memanipulasi “jalmi alit” atau “wong cilik”.
Gerakan tolak Ridwan Kamil dinilai wajar karena beberapa hal, antara lain :
Pertama, dengan dukungan Istana dan mayoritas partai politik menjadi gambaran bahwa Ridwan Kamil adalah boneka oligarkhi yang siap berekspresi maupun merepresi.
Kedua, ketika Jakarta bukan lagi sebagai Ibu Kota Negara maka spirit putera daerah atau yang mengenal daerah untuk memimpin Jakarta menjadi kelayakan. Ridwan Kamil itu orang luar.
Ketiga, mantan Gubernur DKI yang dinilai sukses memimpin dan dicintai warga Anies Baswedan telah dibantai secara sadis oleh kekuasaan hingga tidak dapat ikut berkompetisi. Kemarahan warga merupakan konsekuensi.
Gerakan Coblos Semua adalah bentuk ringan dari perlawanan yang sekaligus secara implisit penolakan atas Ridwan Kamil. Bentuk lebih eksplisit adalah coretan “Jakarta Anti Ridwan Kamil”.
matahukum/tempo/dari berbagai sumber