Self-fulfilling Prophecy vs Streisand Effect Dalam Pilpres 2024
Oleh: Gendur Harjono
Pengamat Komunikasi Publik
GAUNG agar Pemilu 2024 Satu Putaran terus didengungkan oleh pendukung Prabowo atau 02. Strategi ini bukanlah sesuatu yang aneh dalam sosiologi politik. Mengapa? Ini adalah strategi yang dalam sosiologi dikenal pengan istilah self-fulfilling prophecy. Robert K Merton sosiolog dari Amerika mengenalkan istilah ini di mana menurutnya suatu keyakinan, baik benar atau salah, dapat diharapkan mendapatkan hasil seperti yang diinginkan. Keyakinan yang menjadi kenyataan.
Secara sederhana self-fulfilling propechy dapat juga dikatakan sebagai sebuah ketidakbenaran yang dapat menjadi benar.
Sebuah Bank yang sehat karena rumors dari pesaingnya dapat menjadi bank yang benar-benar kesulitan likuiditas. Isu kesulitan likuiditas ini oleh publik yang mempercayainya kemudian menarik uangnya beramai-ramai dari Bank tersebut yang akhirnya menyebabkan Bank yang diisukan kesulitan likuiditas itu benar-benar mengalami kesulitan likuiditas. Demikian juga dengan tim kampanye dari 02.
Melihat survei yang tidak beranjak dari 42% membuat Tim 02 melancarkan strategi baru dengan terus menerus mempublikasi prediksi (atau keyakinan) bahwa 02 adalah pemenang satu putaran.
Tim komunikasi 02 terus mendengungkan satu putaran agar publik mempercayai bahwa kemenangan ada di pihak 02 dan agar rakyat (bawah) tergerak untuk ikut-ikutan “memilih yang menang” sehingga 02 menjadi benar-benar pemenang pilpres kali ini.
Begitulah cara propaganda bekerja.
Namun apakah jalan itu merupakan jalan yang benar yang akan membawa 02 kepada kemenangan?
Sayangnya dalam Pemilu kita ini ada yang disebut dengan Debat Pilpres.
Lantas apa hubungannya Debat Pilpres ini dengan self-fulfilling prophecy?
Di sinilah menariknya. Debat Pipres yang dilakukan secara terbuka menjadikan masyarakat dapat melihat kualitas calon-calonnya dengan lebih baik.
Dalam debat Pilpres secara langsung atau Mandala Pertama, publik bisa menilai sendiri kemampuan Capres atau Cawapres yang hendak mereka pilih. Baik wawasan, kecakapan bicara, etika, gesture, presentasi maupun kemampuan menaklukan lawan bicara. Semua dinilai oleh calon pemilih.
Dalam Mandala Pertama ini tidak semua percakapan atau debat dianggap selesai. Publik yang tidak puas dengan hasil debat kemudian melanjutkan keingintahuan mengenai materi debat dengan menggunakan media sosial, terutama pencari informasi, khususnya Goggle.
Hasil dari pencarian ini dilanjutkan di kedai kopi atau juga di media sosial itu sendiri. Ini dilakukan berhari-hari.
Maka kemudian kita mendapatkan Mandala Kedua di mana percakapan debat divalidasi oleh publik.
Validasi publik untuk melakukan verifikasi sendiri atas apa yang ingin diketahuinya, dan ini dikenal dengan Streisand Effect.
Streisand Effect adalah sebuah konsekueksi yang tidak diinginkan (unintended consequences) dari publik terhadap artis Barbra Streisand, seorang penyanyi, artis film, aktivis lingkungan plus filantropi yang menyembunyikan rumah mewahnya dan besar di pinggir pantai. Diam-diam rumah itu difoto oleh Kenneth Adelman.
Karena dianggap mengganggu privacy dengan mempublikasi rumahnya, Barbra Sterisand menggugat fotografer Kenneth Adelman sebesar 50 juta US dollar gara-gara mempublikasi rumahnya tersebut.
Publik yang awalnya tidak mengetahui keberadaan kediaman Barbra Streisand itu kemudian mencari tahu seperti apa rumah artis. Dan kemudian menjadi kekusutan sendiri bagi Barbra Streisand yang tidak menyangka reaksi publik dalam menginvestigasi kediamannya.
Demikian juga dalam Pilpres 2024 ini. Publik kemudian mencari tahu apa yang diperdebatkan. Publik mencari tahu apa itu hilirisasi, publik mencari tahu program penanaman sawah (food estate) yang dilakukan Kementerian Pertahanan karena dianggap gagal, dan publik juga terus meracau atas temuan mereka selama berhari-hari atas “umpan lambung” dari debat Pilpres 2024 ini.
Sayangnya pasca debat Presiden ini kubu 02 lebih banyak menjadi ‘pesakitan’ di masyarakat.
Streisand effect membuat mata publik terbelalak atas apa yang mereka temukan. Apa yang dikemukakan oleh kubu 02 ternyata kemudian memukul balik dan kepercayaan terhadap kubu 02 menjadi menurun.
Nah apakah self-fulfilling prophecy dengan meneriakkan satu putaran terus menerus dapat dikalahkan oleh keingintahuan publik melalui Streisand Effect?
Sepertinya sulit bagi 02 untuk memenangkan Pilpres ini dengan satu putaran, mengingat ketidakpercayaan publik, khususnya kelas menengah, telah menjadi snowball effect ke lapisan bawah. Kepercayaan terhadap 02 semakin merosot, kecuali jika kita mempercayai hasil riset konsultan yang dikendalikan oleh kubu 02.
***