Sidang MK Selesai, Ini Sederet Peta Pro Kontra Legalisasi Nikah Beda Agama

0
Ilustrasi pernikahan beda agama

Ilustrasi pernikahan beda agama. (istimewa)

“Pemerintah, menolak permohonan pengujian pemohon untuk seluruhnya. Atau setidak‐tidaknya menyatakan permohonan pengujian pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)”

Mata-Hukum, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menutup persidangan legalisasi pernikahan beda agama setelah melalui 12 kali sidang. Sidang ini digelar atas permohonan E. Ramos Petege, pemeluk agama Katolik yang gagal menikahi perempuan beragama Islam.

“Persidangan hari ini ya, kemungkinan besar adalah persidangan terakhir,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang MK yang dilansir website MK, Rabu 2 November 2022.

Setelah sidang selesai, 9 hakim MK akan melakukan musyawarah hakim untuk memutuskan permohonan tersebut. Apakah dikabulkan, ditolak atau MK memberikan penafsiran tersendiri. Sesuai UU, waktu memutuskannya tidak dibatasi hari. Beda dengan perkara pidana.

Ketua MK Anwar Usman saat memimpin persidangan di MK. (istimewa)

Berikut peta perdebatan dalam sidang di MK terkait legalisasi nikah beda agama

Pertanyaan Hakim Konstitusi

Hakim konstitusi Suhartoyo mempertanyakan relevansi larangan pernikahan beda agama di UU Perkawinan. Sebab, UU itu telah berusia puluhan tahun sehingga konstektualnya bisa saja dikaji lagi.

“Sebenarnya Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini, ini kan sudah hampir 40 lebih tahun,” kata Suhartoyo yang dikutip risalah sidang dari website MK, Senin 4 Juli 2022.

Hakim konstitusi Suhartoyo. (istimewa)

Suhartoyo menggarisbawahi keterangan DPR yang disampaikan Arsul Sani. Diterangkan Arsul Sani bila larangan itu sudah menjadi perdebatan saat lahirnya UU Perkawinan itu.

“Nah, persoalan yang muncul kemudian, memang dalam konteks kekinian, Pak Arsul dan Pak Dirjen, ini kan sudah berbeda dengan tahun 1974. Apakah tetap statis seperti 1973 atau kah sudah ada konteks kekinian yang sebenarnya juga menjadi bahan kajian bersama ketika akan dilakukan perubahan Undang‐Undang Nomor 174 itu, Pak Arsul?” tanya Suhartoyo.

Sedangkan hakim konstitusi Daniel Yusmic menggarisbawahi pada kenyataannya nikah beda agama tersebut terjadi di Indonesia. Pemerintah diminta memberi solusi.

“Jalan tengahnya seperti apa?” tanya Daniel tegas.

Sikap Pemerintah

Menkumham Yasonna Laoly. (istimewa)

Pemerintah menegaskan menolak melegalkan pernikahan beda agama. Hal itu disampaikan dalam sidang judicial review UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh warga Papua, Ramos Petege.

“Menolak permohonan pengujian pemohon untuk seluruhnya. Atau setidak‐tidaknya menyatakan permohonan pengujian pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard),” demikian keterangan resmi pemerintah.

Menag Yaqut Cholil Qoumas.  (istimewa)

Sikap pemerintah ini diwakili oleh Menkumham Yasonna Laoly dan Menag Yaqut Cholil Qoumas. Pernyataan resmi pemerintah itu disampaikan oleh kuasa dari Kemenag, Kamaruddin Amin.

“Makna hukum atau legal meaning ketentuan Pasal 29 UUD 1945 sebagai batu uji Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan oleh Pemohon telah ditafsirkan secara keliru. Bahwa prinsip kemerdekaan dan kebebasan agama disamakan sebagai prinsip yang membolehkan perkawinan beda agama,” kata Kamaruddin Amin.

Menurut pemerintah, hukum perkawinan masing‐masing agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia berbeda‐beda, sehingga tidak mungkin untuk disamakan. Suatu hukum perkawinan menurut satu hukum agama dan kepercayaan untuk menentukan sahnya perkawinan adalah syarat‐syarat yang ditentukan oleh agama dari masing‐masing pasangan calon mempelai.

“Dan terhadap perkawinan tersebut dilakukan pencatatan sebagai tindakan yang bersifat administratif yang dilaksanakan oleh negara guna memberikan jaminan perlindungan, kemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara, serta sebagai bukti autentik perkawinan,” urai pemerintah.

Ahli Pro Nikah Beda Agama

Rocky Gerung. (istimewa)

Rocky Gerung menyatakan negara memanfaatkan agama untuk mengatur kamar tidur orang. Hal itu disampaikan dalam sidang judicial review UU Perkawinan soal nikah beda agama.

“UU ini bermasalah karena mengatur yang disediakan oleh alam. Perkawinan itu adalah peristiwa perdata. Dalam UU disebut hak, bukan kewajiban. Jadi boleh tidak memakai hak itu,” kata Rocky.

“Di agama juga bukan kewajiban. Hak beragama dijamin oleh negara, tapi tidak ada kewajiban negara untuk warganya beragama kecuali disebutkan secara jelas bahwa setiap warga negara Indonesia wajib beragama,” beber Rocky Gerung.

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menyatakan sudah saatnya tidak ada keraguan untuk membolehkan menikah beda agama.

“Berbagai norma internasional yang tertuang di dalam Deklarasi Universal HAM, berbagai perjanjian internasional hak sipil, hak politik, hak ekonomi, sosial, budaya dan juga berbagai konvensi yang menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan, jelas memberikan hak dan kebebasan kepada laki‐laki maupun perempuan untuk melakukan pernikahan dan membentuk keluarga tanpa dibatasi oleh sekat-sekat agama, etnisitas, maupun status sosial lainnya,” kata Usman Hamid.

Psikolog Dr Risa Permanadeli menyatakan pernikahan beda agama tidak bisa dihindari di negara majemuk seperti di Indonesia. Oleh sebab itu, Risa menilai sudah saatnya negara membuka peluang untuk membolehkan pernikahan beda agama.

“Apa artinya menjadi bangsa yang heterogen dan majemuk? Artinya setiap warga negara, setiap orang dalam perjalanan menempuh kehidupan di negara ini akan selalu memiliki kemungkinan dan peluang untuk bertemu dengan orang lain yang berbeda sekali, entah ras, entah suku, entah bahasa, entah tradisi, entah kepercayaan, entah agama atau mungkin hal yang sangat sepele seperti selera, apalagi dengan kehidupan modern di mana semua elemen bertemu seperti arus globalisasi misalnya,” kata Risa.

Kontra Nikah Beda Agama

Isu pernikahan beda agama kerap terjadi, baru baru ini mencuat lagi setelah sebuah video pernikahan seorang perempuan beragama Islam dengan pria beragama Kristen di Semarang mendadak viral di media sosial. Menurut peraturan, pernikahan beda agama memang dilarang dilangsungkan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Tayangan berdurasi pendek tersebut bahkan mendapat respons dari Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid Sa’adi. Zainut menyatakan telah berkoordinasi dengan Kanwil Kemenag Jawa Tengah dan memastikan pernikahan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA). “Peristiwa pernikahan beda agama yang viral di media sosial itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama atau KUA,” kata Zainut seperti dikutip dari Antara, Rabu, 9 Maret 2022.

Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Zudan Arif Fakrulloh, mengatakan pernikahan beda agama tak akan dicatat di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil). “Harus menikah dalam kondisi agama yang sama,” ucap Zudan kepada wartawan, Kamis, 10 Februari 2022.

Merespons pernyataan Zudan, Direktur Riset Setara Institute, Halili Hasan, menegaskan pernikahan beda agama merupakan urusan pribadi. Karena itu negara dianggap tak bisa mengatur persoalan ini. Menurut dia, pernikahan adalah kebebasan internal. Negara tidak dapat mempermasalahkan pernikahan beda agama. Apalagi menjadikannya sebagai dasar untuk tindakan administratif. “Termasuk untuk urusan-urusan administrasi, seperti pencatatan pernikahan tersebut,” kata Hasan kepada Tempo, Kamis, 10 Maret 2022.

Lalu, bagaimana pernikahan beda agama menurut pandangan agama Islam?

Melansir dari laman Nahdlatul Ulama (NU), agama Islam secara terang-terangan melarang adanya pernikahan beda agama. Dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 221 disebutkan “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik”.

Merujuk penjelasan ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, maksud ayat tersebut adalah larangan berupa keharaman. Wali diharamkan menikahkan wanita muslimah dengan lelaki nonmuslim dari golongan apa pun. Dalam konteks ini, Imam as-Syafi’i menegaskan: “Tidak halal bagi lelaki yang masih menyandang status kufur untuk menikahi wanita muslimah, dan budak perempuan muslimah sekalipun selamanya. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara kafir dari ahli kitab maupun kafir dari golongan lainnya.”

Menurut dosen Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) Universitas Ahmad Dahlan, Budi Jaya Putra, seorang muslim dilarang menikahi atau dinikahi oleh orang musyrik kendati didasari rasa saling cinta. Sebab, menurut dia, agama merupakan kunci kebahagiaan manusia. Tidak perlu mencari pembenaran hanya semata-mata karena cinta, maka melanggar hukum Allah. “Wanita atau laki-laki musyrik tidak boleh dinikahi oleh laki-laki dan wanita muslim,” kata dia dikutip dari news.uad.ac.id.

Ahli dari Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (Dewan Da’wah) Teten Romly Qomaruddien, mengatakan persoalan pernikahan beda agama seolah tidak mengenal kata berhenti. Walaupun, kata Teten, pada dasarnya ajaran Islam telah membedakan dan telah memberikan aturan yang jelas.

“Selain terdapat dalil-dalil ayat yang menegaskan haramnya pernikahan beda agama tersebut, juga adanya riwayat hadits ditambah lagi adanya ijma’ para ulama di setiap zamannya,” ungkap Teten

Dewan Da’wah, Teten Romly Qomaruddien. (istimewa)

Adapun Profesor Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Atip Latipulhayat juga menolak nikah beda agama dengan dalih hak asasi manusia (HAM). Sebab, HAM bersifat partikular dan tidak universal. HAM tergantung masing-masing negara, bukan berlaku untuk semua negara.

“Perbedaan pandangan antara konsep universalisme dan partikularisme HAM sebenarnya sudah berakhir sejak ditandatanganinya Deklarasi Wina 1993 yang menyatakan bahwa terdapat pengakuan terhadap adanya standar minimum regional. Deklarasi tersebut menyatakan pula bahwa penerapan nilai universalisme HAM harus memperhitungkan juga kondisi setiap negara yang memiliki keberagaman budaya, agama, sosial, ekonomi, dan politik,” kata Atip.

Putusan MK Tahun 2014

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (istimewa)

Kasus ini pernah digugat juga pada 2014 dan hasilnya ditolak. Apa alasan MK kala itu?

“Perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan undang-undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara,” demikian bunyi pertimbangan MK.

MK menegaskan, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, agama menjadi landasan dan negara mempunyai kepentingan dalam hal perkawinan. Agama menjadi landasan bagi komunitas individu yang menjadi wadah kebersamaan pribadi-pribadi dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa serta turut bertanggung jawab terwujudnya kehendak Tuhan Yang Maha Esa untuk meneruskan dan menjamin keberlangsungan hidup manusia.

“Negara juga berperan memberikan pedoman untuk menjamin kepastian hukum kehidupan bersama dalam tali ikatan perkawinan,” urai MK

Dari berbagai sumber/matahukum/rid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *