Sulistyowati: living law sebagaimana dimaksud dalam KUHP Baru Dapat Menimbulkan Banyak Perspektif

0

“Direktur Eksekutif CREED, Yoseph Billie Dosiwoda: sebagaii pusat studi dan penelitian yang berkelanjutan, CREED berkomitmen untuk menelurkan kajian ilmiah yang dapat dirujuk oleh berbagai lapisan masyarakat, mulai dari pemerintah, akademisi, hingga media”

Para narasumber. (Istimewa)

Mata-Hukum Jakarta – Pada Rabu, 21 Desember 2022 pukul 19.00, telah dilaksanakan diskusi webinar perdana Center for Research on Ethics, Economy and Democracy (CREED) bertajuk “Refleksi Akhir Tahun: Merawat Harapan, Menjawab Tantangan”.

Acara ini sekaligus menjadi momen soft-launching lembaga kajian ini. Acara ini dihadiri 111 partisipan dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, praktisi, aktivis, wartawan, tokoh agama hingga masyarakat umum. Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif CREED, Yoseph Billie Dosiwoda kepada matahukum, Kamis 22 Desember 2022.


Dalan kesempatan tersebut Billy memaparan terkait soft-launching CREED yang didedikasikan sebagai suatu lembaga kajian yang berfokus pada penelitian dari perspektif etika untuk membahas isu-isu politik, ekonomi, hukum, dan berbagai aspek lain terkait kebijakan publik.

“Harapannya, CREED dapat menjadi wadah sekaligus rujukan publik dalam berbicara tentang aspek etis fenomena-fenomena sosial, termasuk fenomena mancanegara yang dapat mempengaruhi situasi domestik Indonesia” ungkap Billy.

Billy juga menjelaskan, sebagaii pusat studi dan penelitian yang berkelanjutan, CREED berkomitmen untuk menelurkan kajian ilmiah yang dapat dirujuk oleh berbagai lapisan masyarakat, mulai dari pemerintah, akademisi, hingga media.

“Jadi Ke depannya, CREED juga akan membuat rilis opini menanggapi isu terkini, termasuk juga menyajikan kritik yang konstruktif serta advokasi dalam mengawal dan membantu kinerja pemerintah” tutur nya.

CREED juga akan mengisi ruang diskursus publik melalui forum-forum diskusi untuk bertukar pendapat serta membagikan gagasan yang layak didengar oleh khalayak. Di sisi upaya pengembangan sumberdaya, CREED juga berencana merancang berbagai program serta modul pelatihan bagi para Birokrat ASN, Pegawai BUMN dan sektor swasta guna membekali mereka dalam merumuskan, melaksanakan dan mengevaluasi implementasi kebijakan publik.

Prof. Sulistyowati Irianto Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

“Besar harapan kami agar CREED nantinya dapat banyak berkolaborasi dan berjejaring dengan pakar-pakar di berbagai bidang serta melibatkan kalangan mahasiswa sebagai calon penerus intelektual bangsa untuk menghasilkan karya penelitian yang dapat menjadi sumbangan berharga bagi Indonesia yang lebih baik,” imbuh nya.

Billy juga memaparkan dalam diskusi refleksi akhir tahun yang dipandu oleh Brigita Manohara, News Anchor TV One tersebut ada tiga narasumber yang dihadirkan. Narasumber pertama adalah Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, MA, yang merupakan Guru Besar Antropologi Hukum dari FH UI. Dalam pemaparannya, ia membahas “The living law” atau hukum yang hidup sebagaimana disebutkan dalam KUHP yang baru-baru ini disahkan. Namun, ia menyoroti bahwa living law sebagaimana dimaksud dalam KUHP itu dapat menimbulkan banyak perspektif yang belum diakomodasi sesuai dengan realitas masyarakat saat ini. Apabila mengacu pada teori pluralisme hukum, terdapat ko-eksistensi dan interelasi berbagai hukum, baik itu hukum negara maupun non-negara (agama, adat, dsb) sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian terkait hukum mana yang mesti diterapkan. KUHP yang baru memang telah membatasi keberlakuan living law, yaitu sepanjang tidak diatur dalam KUHP, Pancasila, UUD 1945, HAM, asas-asas hukum umum. Mengenai kriteria living law pun akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP). Akan tetapi, hal yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana kita mesti membuat keputusan dalam kasus-kasus di mana living law dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini mengingat juga bahwa keberagaman “living law” jika dipaksakan untuk disatukan ke dalam suatu formulasi akan menjadi kontroversi yang tidak berkesudahan, sehingga justru tidak dapat difungsikan untuk saling mengoreksi guna mencapai kesatuan pandangan.
Narasumber kedua adalah Arief Susanto, S.Sos, M.Si, yang merupakan pengamat politik dari Exposit Strategic. Menurutnya, ada kecenderungan bahwa partai-partai politik mengeras pertarungannya. Di antara elit politik tidak cukup ada kesabaran untuk meniti tegangan perbedaan politik di antara mereka. Selain itu, semakin memusatnya politik pada kontestasi elektoral lima tahunan membawa tiga konsekuensi yang perlu diperbaiki. Pertama, orientasi pada kemenangan melampaui upaya perbaikan publik. Kedua, warga negara lebih diletakkan sebagai pendukung, bukan pelaku. Ketiga, dinamika politik menjadi minim deliberasi, akibatnya politik menjadi semata-mata kompromistis. Semakin melemahnya civil society juga menghadirkan keprihatinan lain lagi. Ia mewanti-wanti bahwa tahun depan akan ditandai oleh polarisasi. Polarisasi itu tidak terhindarkan dalam politik. Tantangan terpenting yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana mengelola perbedaan, bagaimana mengelola polarisasi yang kemudian termoderasi lewat politik. Hal ini tidak lain karena politik itu sesungguhnya adalah cara yang beradab untuk memoderasi konflik. Meskipun begitu, ia tetap meyakini setidaknya ada empat hal yang masih patut membuat kita optimis menghadapi situasi politik 2023. Pertama, generasi muda sekarang memiliki sensitivitas etis yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Kedua, jaringan-jaringan sosial semakin menguat. Ketiga, masih ada kemampuan untuk memelihara keberagaman sebagai suatu identitas. Keempat, ada kemampuan untuk menemukan isu bersama.
Narasumber terakhir adalah Dr. Agustinus Prasetyantoko yang merupakan rektor Unika Atma Jaya. Ia menjelaskan bahwa apakah resesi akan terjadi atau tidak itu tergantung kekuatan dan arah kebijakan moneter suatu negara. Milestone dari potensi krisis global ini dimulai dari merebaknya pandemi covid -19. Menghadapi gelombang pandemi itu, kebijakan ekonomi banyak negara dapat dibagi menjadi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Kebijakan moneter yang diambil banyak negara adalah dengan memproduksi uang dengan relatif mudah sementara kebijakan fiskal yang diambil adalah dengan memberikan berbagai stimulus agar ekonomi bisa berjalan dengan lancar meski dalam situasi pandemi. Akibatnya, utang setiap negara menjadi meningkat karena situasi pandemi yang tak kunjung berakhir. Kondisi perekonomian dunia kembali terpukul dengan invasi Rusia ke Ukraina yang memicu naiknya harga komoditas pangan dan energi. Permintaan yang tinggi mengakibatkan inflasi di berbagai negara. Tingkat inflasi di Amerika Serikat yang tinggi memaksa bank sentralnya untuk menaikkan suku bunga yang berdampak pada melemahnya mata uang negara-negara lain, termasuk negara-negara berkembang. Melihat situasi prekonomian Amerika Serikat saat ini, tampaknya kondisi seperti ini masih akan berlanjut di tahun depan. Terjadinya stagflasi secara global memaksa banyak negara ikut menaikkan suku bunga. Maka dari itu, meskipun belum pasti, tampaknya secara global dunia akan memasuki fase resesi yang dipicu inflasi yang tidak mudah ditangani. Salah satu dampak positif dari perekonomian global yang melambat bagi Indonesia adalah terjadinya booming komoditas. Situasi ini sedikit menguntungkan Indonesia karena demand batubara menjadi meningkat. Hal ini berimbas pada surplus penerimaan APBN dari sektor ekspor, di samping juga dari penerimaan pajak. Sementara itu, dampak negatif yang mungkin dialami Indonesia adalah goyahnya nilai tukar rupiah akibat dampak dari kenaikan suku bunga The Fed. Akan tetapi, kebijakan fiskal yang tepat dapat menjauhkan Indonesia dari resesi. Kebijakan-kebijakan yang tepat juga dapat mengakselerasi produktivitas dalam negeri yang pada gilirannya dapat memajukan UMKM dan membuka banyak lapangan kerja. Proyeksi surplus diprediksi akan berakhir tahun depan seiring resesi yang semakin meluas ke beberapa negara dan berdampak pada menurunnya permintaan komoditas ekspor. Sejauh ini kondisi ekonomi dalam negeri masih resilience. Dengan kondisi global saat ini, negara kita masih dalam kondisi aman namun kita harus tetap waspada serta merawat harapan bahwa pandemi akan berakhir di tahun ini agar ekonomi bisa berjalan dan hidup kembali.
Besar harapan kami pemaparan tiga narasumber dalam diskusi refleksi akhir tahun perdana CREED ini dapat menjadi pencerahan bagi publik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *