Terdakwa Kasus Paniai Bebas, Pegiat HAM Nilai Karena Dakwaan Lemah
Komnas HAM menilai persidangan kasus Paniai tidak serius. Penerapan UU Nomor 26 tentang Peradilan HAM ternyata tidak membawa dampak signifikan.
Makassar, Mata-Hukum – Pengadilan HAM kasus pelanggaran HAM Berat Paniai memutus bebas terdakwa tunggal Mayor Inf (Purn) Isak Sattu, Kamis 8 Desember 2022, di Makassar, Sulawesi Selatan.
Peristiwa Paniai terjadi pada 8 Desember 2014. Sehari sebelumnya, terjadi aksi pengeroyokan yang dilakukan anggota TNI terhadap sekelompok pemuda. Warga yang meminta penjelasan peristiwa itu, justru menjadi korban kekerasan aparat. Setidaknya empat warga dinyatakan tewas akibat tembakan, serta 21 warga terluka.
Majelis hakim yang mengadili perkara nomor: 1/Pid.Sus-HAM/2022/PN Mks ini adalah Sutisna Sawati sebagai ketua majelis, dengan didampingi Abdul Rahman Karim, Siti Noor Laila, Robert Pasaribu dan Sofi Rahma Dewi masing-masing sebagai hakim anggota. Sutisna dan Abdul Rahman merupakan hakim karir, sedangkan sisanya merupakan hakim ad hoc pada PN Makassar.
Terjadi perbedaan pendapat (dissenting opinion) dua dari lima hakim dalam putusan bebas tersebut.
Sebelumnya JPU menuntut Isak Sattu dihukum penjara 10 tahun karena telah memenuhi ketentuan dalam Pasal 42 Ayat (1) huruf a dan huruf b jo Pasal 7 Huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Dalam pengadilan, hakim sebenarnya telah membuktikan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat, namun belum dapat membuktikan pertanggungjawaban pelaku Isak Sattu.
Janggal
Sejak awal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai penyidikan hingga proses persidangan kasus Paniai ini banyak ditemukan kejanggalan.
Amiruddin Al Rahab, sebulan sebelum habis jabatannya sebagai Wakil Ketua Komnas HAM, mengungkap beberapa kejanggalan.
Kejanggalan pertama: jaksa hanya mendakwa satu orang. Padahal pelanggaran HAM Berat mensyaratkan kejahatan yang dilakukan secara sistematis, struktural dan meluas.
Kedua: proses penyidikan dan penuntutan yang tidak transparan, serta tidak melibatkan saksi korban. Akibatnya saksi korban dan keluarga tidak percaya dengan proses peradilan Paniai.
Selain itu, proses pembuktian tidak berjalan maksimal karena ketiadaan partisipasi aktif dari saksi korban dan keluarga. Mayoritas saksi yang dihadirkan dalam persidangan berasal dari aparat TNI dan Polri. Lima saksi sipil yang dihadirkan hanya dua orang.
Komnas HAM juga menyayangkan korban tidak mengajukan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sehingga tidak ada korban yang mendapatkan pemulihan hak dan perlindungan atas haknya.
Amiruddin menilai persidangan kasus Paniai tidak serius. UU Nomor 26 tentang Peradilan HAM ternyata tidak membawa dampak signifikan.
Tiga pengadilan HAM Berat terdahulu (kasus Timor Timur, Tanjung Priok dan Abepura) dinilai dinilai banyak pengamat pengadilan tidak serius. “Sekarang setelah lima belas tahun berhenti, ternyata tidak lebih baik jalannya,” ungkap Amir.
Ia menilai persidangan kasus Paniai kurang menggali keterangan sedalam mungkin dari eks Wakapolri, Ari Dono, pada sidang tanggal 13 Oktober 2022. Padahal Ari sempat mengetuai tim investigasi Tragedi Paniai bentukan Menko Polhukam Tedjo Edhy.
“Pengadilan ini harus jalan dengan segala prosedurnya. Kalau tidak, pengadilan HAM ini tidak ada bedanya dengan pengadilan tindak pidana ringan. Yang membedakan kan karena keseriusan perbuatan yang disangkakan, maka pembuktiannya juga harus serius,” jelas Amir.
Komnas HAM sebenarnya telah menyelesaikan penyelidikan dan menganggap kasus Paniai telah memenuhi unsur sistematis dan meluas yang melibatkan kebijakan dari penguasa. Terdakwa Isak Sattu yang berstatus sebagai perwira penghubung Kodim Paniai dinilai tak punya kewenangan mengendalikan markas. Komnas HAM menduga anggota TNI yang bertugas pada peristiwa tersebut, baik dalam struktur komando Kodam XVII/Cendrawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai, sebagai pelaku yang bertanggung jawab.
Dalam konteks pelanggaran HAM berat, kejahatan kemanusiaan berat yang dilakukan harus memenuhi unsur sistematis dan meluas. Terlebih ada pertanggungjawaban rantai komando dalam tubuh TNI dari setiap tindakan sehingga tidak mungkin hanya melibatkan 1 orang.
Komnas HAM menduga bahwa Tragedi Paniai tidak bisa dilepaskan dari Operasi Pengamanan Daerah Rawan (Pamrahwan) ketika itu.
“Operasi sebesar itu masa penanggungjawabnya dia (Isak Sattu)? Inilah problem pengadilan ini. Dakwaan jaksa berhenti pada peristiwa pagi itu. Komnas HAM melihat dia akibat dari peristiwa sebelumnya yang berkaitan dengan Pamrahwan. Dalam dakwaan jaksa tidak ada itu,” jelas Amir.
Susunan majelis hakim dalam kasus ini juga pernah dikritik karena dianggap kurang berkompeten menangani kasus HAM berat.
Kejanggalan-kejanggalan itu yang membuat keluarga korban sejak awal tidak mau menghadiri persidangan karena menganggapnya hanya formalitas belaka.
Tanggapan Kejagung
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana mengatakan akan mempelajari putusan kasus Paniai terlebih dahulu. Salah satunya yaitu terkait pertimbangan majelis hakim sebelum menjatuhkan vonis kepada terdakwa. Namun, ia memastikan Kejagung akan mengambil upaya hukum terkait kasus ini seperti kasasi.
“Biasanya putusan segera kita terima dari majelis hakim, tapi dalam waktu 14 hari kita sudah melakukan upaya hukum,” jelas Ketut, Kamis 8 Desember 2022.
kmp/ant/jotz