Jakarta, Mata-Hukum – Selasa 15 November 2022 kemarin, tiga Penjabat Sekretaris Daerah provinsi baru di Papua dilantik di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta. Mereka adalah Sugiarto (Direktur Toponimi dan Batas Daerah Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri) sebagai Pj Sekda Provinsi Papua Selatan, Valentinus Sudarjanto Sumito (Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah Kemendagri) sebagai Pj Sekda Provinsi Papua Tengah dan Sumule Tumbo (Direktur Fasilitasi Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri) sebagai Pj Sekda Provinsi Papua Pegunungan.
Penjabat Sekda DOB Papua ini akan bekerja hingga target 2024. Tugasnya membantu Pj Gubernur mempersiapkan pemerintahan daerah otonomi baru agar bisa memberi pelayanan kepada rakyat di wilayahnya dan mempersiapkan pelaksanaan pemilihan umum serentak 2024 yang akan memilih kepala daerah. Setelah terpilih, gubernur definitif akan mengusulkan dan melantik siapa pejabat sekda definitif.
Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penjabat Sekretaris Daerah mengatur bahwa calon penjabat sekretaris daerah diangkat dari pegawai negeri sipil (PNS) yang memenuhi persyaratan di antaranya:
a. menduduki jabatan pemimpin tinggi pratama eselon II/a untuk penjabat sekretaris daerah provinsi atau menduduki jabatan pemimpin tinggi pratama eselon II/b untuk penjabat sekretaris daerah kabupaten/kota;
b. memiliki pangkat paling rendah Pembina utama muda golongan IV/c untuk penjabat sekretaris daerah provinsi dan pangkat Pembina I golongan IV/b untuk penjabat sekretaris daerah kabupaten/kota; dan
c. berusia paling tinggi 1 (satu) tahun sebelum mencapai batas usia pensun.
Prosesnya: gubernur mengusulkan nama calon penjabat sekda kepada menteri, selanjutnya menteri menjawab apakah ia setuju atau menolak usulan itu. Jika diterima menteri, nama tersebut segera dilantik gubernur. Jika ditolak, gubernur kembali mengajukan usulan nama penjabat sekda kepada menteri.
Dalam kasus DOB Papua ini nama-nama yang disetujui Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian tidak ada satu pun yang merupakan pejabat atau birokrat asli Papua. Semuanya adalah pejabat Kemendagri.
Padahal sebelumnya berkembang anggapan bahwa kursi Pj Sekda provinsi baru akan diisi oleh pejabat-pejabat setara dari provinsi induk, yakni Provinsi Papua. Banyak aspirasi yang menghendaki agar kursi Pj Sekda diisi oleh pejabat asli Papua. Dasarnya antara lain karena Papua memiliki kekhususan sebagai daerah otonomi khusus.
Sebelumnya Asosiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Papua Tengah meminta Presiden Joko Widodo, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Tito Karnavian, dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM Mahfud Md agar jabatan Pj Sekretaris Daerah Papua Tengah diisi birokrat putra asli dari wilayah Meepago (Papua Tengah).
“SDM birokrasi Papua Tengah sangat banyak dan sudah stand by,” lanjut Ketua Asosiasi DPRD Wilayah Meepago Petrus Badokapa, yang juga Ketua DPRD Kabupaten Deiyai, Papua, Minggu 6 November 2022 lalu.
Aspirasi serupa banyak disampaikan kelompok masyarakat Papua lainnya. Baik dari wilayah Papua Selatan maupun Papua Pegunungan. Namun aspirasi itu seperti tidak dipedulikan Jakarta.
Padahal Papua merupakan daerah otonomi khusus dan memiliki payung hukum UU Otonomi Khusus Papua (Nomor 2 Tahun 2021) sehingga harus memperoleh perlakuan yang khusus dalam banyak hal. Termasuk dalam hal kepemerintahan.
Undang-Undang Otonomi Khusus Pasal 76 ayat (2) menyatakan bahwa pemerintah dan dewan perwakilan rakyat dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua, dengan memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang dan/atau aspirasi masyarakat Papua.
Sejalan dengan semangat Otonomi Khusus Papua maka pengisian dan/atau penunjukan penjabat pada provinsi pemekaran harus orang asli Papua.
Selama pelaksanaan Otsus jilid 1, Papua sudah berkembang, termasuk dalam hal perkembangan kuantitas dan kualitas sumber daya manusianya. Karena itu seluruh kebijakan pemerintah pusat harus menjiwai kekhususan Papua yang sudah lengkap dan paripurna tersebut. Tinggal kemauan politik pemerintah pusat, dalam hal ini presiden, melaksanakan amanat otonomi khusus tersebut secara konsisten dan konsekuen.
ASN Papua yang menduduki eselon 2 di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sudah banyak. Mereka bisa direkrut dan diuji kompetensinya menjadi calon yang layak mengisi jabatan penjabat sekda di provinsi pemekaran. Dengan demikian pemerintah pusat seharusnya menjalankan semangat kekhususan Papua, yang dititikberatkan pada penghormatan, perlindungan dan pemberdayaan/pengakuan hak-hak dasar orang asli Papua.
Langkah ini sesungguhnya tidak menyalahi prosedur hukum dalam konteks suatu wilayah dengan status kekhususan (specialis). Sebab dalam asas hukum lex specialis dijamin. Bahwa jika terjadi pertentangan antara UU yang khusus dengan UU yang bersifat umum, maka yang berlaku adalah UU yang bersifat khusus. Singkatnya, aturan hukum yang bersifat khusus mengesampingkan aturan hukum yang bersifat umum. Mengacu pada semangat asas lex specialis derogat legi generali.
Penunjukkan penjabat Sekda DOB Papua yang semuanya diisi pejabat pusat (Kemendagri) dinilai tidak sejalan dengan semangat kekhususan Papua.
jotz