“Modernisasi BUMN tidak boleh mengorbankan akuntabilitas. Reformasi yang tidak diimbangi dengan pengawasan berisiko menciptakan sistem yang efisien secara administratif tetapi rentan secara etis. Dalam konteks negara hukum, efisiensi tanpa akuntabilitas adalah jalan pintas menuju impunitas”
Mata Hukum, Jakarta – Pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) menandai tonggak baru dalam tata kelola perusahaan negara. Namun, dalam semangat deregulasi dan efisiensi tersebut, muncul kekhawatiran serius atas potensi pelemahan pengawasan terhadap tindak pidana korupsi.

Salah satu perubahan fundamental adalah tidak lagi dianggapnya Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN sebagai penyelenggara negara. Perubahan ini berdampak langsung terhadap kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pidsus Kejaksaan dan Kortas Tipikor Polri karena definisi penyelenggara negara adalah syarat utama bagi KPK untuk menyelidik dan menyidik dugaan korupsi.

Antara Penguatan Tata Kelola dan Potensi Impunitas
Undang – Undang BUMN 2025 membawa inovasi, seperti penerapan Business Judgment Rule (BJR), pemisahan aset BUMN dari aset negara, dan pembentukan Badan Pengelola Investasi Danantara. Namun demikian, semangat modernisasi ini menyisakan celah besar. Tanpa pengawasan KPK, siapa yang mengawasi pejabat BUMN yang terlibat suap, kolusi pengadaan, atau permufakatan jahat dengan pihak swasta?
KPK, Pidsus Kejaksaan serta Kortas Tipikor Polri memang masih bisa menangani kasus jika terdapat unsur penyelenggara negara, misalnya gratifikasi dari pejabat BUMN kepada aparat penegak hukum. Tetapi dalam praktik, mayoritas skandal di BUMN justru terjadi dalam ranah internal atau kemitraan bisnis, bukan pada interaksi vertikal dengan lembaga negara. Maka hilangnya yurisdiksi KPK dalam konteks ini adalah kehilangan yang substansial.
Antara Dua Pilar: KPK dan Pidsus Kejaksaan
Statistik menunjukkan Pidsus Kejaksaan Agung lebih produktif dari KPK dalam beberapa tahun terakhir. Namun produktivitas belum tentu mencerminkan efektivitas struktural. KPK selama ini memainkan peran penting dalam pengungkapan skema korupsi sistemik dan melibatkan masyarakat sipil dalam pengawasan. Ketiadaan peran KPK dalam BUMN membuka risiko akan kurangnya transparansi, terutama ketika proyek bernilai besar dikelola tanpa pengawasan publik.
Revisi dan Koreksi Sistemik
Penting untuk mengkaji ulang UU KPK, UU Tipikor, maupun UU BUMN agar celah hukum ini bisa ditutup. Setidaknya, perlu dipertimbangkan:
Penambahan klausul khusus agar pejabat BUMN yang mengelola aset negara tetap masuk kategori penyelenggara negara dalam konteks hukum tipikor;
Penguatan mekanisme koordinasi antar penegak hukum agar tidak terjadi kekosongan yurisdiksi;
Meningkatkan transparansi pengadaan dan pelaporan LHKPN di lingkungan BUMN.
Efisiensi Tidak Boleh Membiakkan Impunitas
Modernisasi BUMN tidak boleh mengorbankan akuntabilitas. Reformasi yang tidak diimbangi dengan pengawasan berisiko menciptakan sistem yang efisien secara administratif tetapi rentan secara etis. Dalam konteks negara hukum, efisiensi tanpa akuntabilitas adalah jalan pintas menuju impunitas.
Maka, jika kita ingin menjadikan BUMN sebagai motor pertumbuhan nasional, pastikan roda itu tidak digerakkan oleh kepentingan pribadi yang tak tersentuh hukum.

Oleh: Dr. H. Adi Warman, S.H., M.H., M.B.A.
Ahli Hukum – Ketua Umum GN-PK dan Pengamat Politik dan Keamanan