Warga Protes di Depan Konjen China, Kutuk Pelanggaran HAM di Tibet dan Xinjiang
“Pada Jumat 9 Desember 2022, Departemen Keuangan AS telah mengumumkan sanksi terhadap dua pejabat China atas pelanggaran HAM yang serius di Daerah Otonomi Tibet (TAR). Keduanya adalah Wu Yingjie dan Zhang Hongbo”
Mata-Hukum, Jakarta – Berbagai kelompok etnis, seperti Tibet dan Uighur, melakukan aksi protes di kota-kota di Pantai Barat Amerika Serikat (AS) sebagai bentuk solidaritas untuk saudara-saudara mereka yang mengalami pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh China.
Protes diadakan pada Hari HAM yang jatuh pada Sabtu (10/12). Aksi dilakukan di Seattle, Washington, dan Portland, Oregon.Ini adalah pertama kalinya protes anti-China diadakan di Seattle dan Portland.
Bahkan di tengah cuaca buruk, termasuk hujan lebat dan angin kencang, puluhan orang tetap melakukan demonstrasi di depan Konsulat Jenderal China di San Francisco.
Mereka mengutuk pelanggaran HAM oleh pemerintah China. Beberapa pengunjuk rasa di berbagai kota terlihat memegang kertas kosong di tangan mereka untuk mendukung demonstrasi anti-kebijakan Zero Covid yang baru-baru ini diadakan di China.
Lembaran kertas kosong, yang dipegang oleh pengunjuk rasa China, telah menjadi simbol pemberontakan massal yang disaksikan terhadap kebijakan Zero Covid yang ketat di bawah pemerintahan Partai Komunis China dan Presiden Xi Jinping
Kertas kosong menjadi metafora untuk postingan kritis, artikel berita, dan akun media sosial yang tak terhitung jumlahnya yang dihapus dari internet
Sementara itu, pada Jumat 9 Desember 2922, Departemen Keuangan AS telah mengumumkan sanksi terhadap dua pejabat China atas pelanggaran HAM yang serius di Daerah Otonomi Tibet (TAR). Keduanya adalah Wu Yingjie dan Zhang Hongbo
AS berlakukan pembatasan visa dan pembekuan aset pemimpin Partai Komunis China atas pelanggaran HAM terhadap etnis Muslim Uighur di Xinjiang
Sudah beberapa kali Amerika Serikat (AS) memberikan sanksi terhadap pejabat China terkait pelanggan Ham. Seperti ditahun sebelum nya AS mengumumkan sanksi terhadap politisi di Xinjiang, China, yang dikatakan bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap etnis minoritas Uighur dan Muslim di provinsi tersebut.
China dituding melakukan penahanan massal, persekusi agama dan sterilisasi paksa terhadap Muslim Uighur.
Sanksi tersebut menargetkan aset keuangan milik Ketua Partai Komunis Xinjiang, Chen Quanguo yang berbasis di Amerika Serikat, serta dua pejabat lain.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan AS bertindak melawan “penyalahgunaan yang mengerikan dan sistematis” di provinsi yang terletak di wilayah barat China itu.
Amerika Serikat tidak akan berpangku tangan ketika PKC [Partai Komunis China] melakukan pelanggaran HAM yang menargetkan warga Uighur, etnik Kazakh dan anggota kelompok minoritas lainnya di Xinjiang,” kata Pompeo dalam sebuah pernyataan.
China dilaporkan menahan sekitar satu juta warga Uighur dan kelompok etnis lainnya di kamp-kamp di Xinjiang untuk indoktrinasi dan memberi mereka hukuman, tetapi negara itu membantah telah melakukan penganiayaan.
Dilarang masuk ke AS dan aset dibekukan
Ketua Partai Komunis Xinjiang, Chen Quanguo menjadi pejabat China peringkat tinggi yang dikenai sanksi dari AS. Dia dianggap sebagai arsitek di balik kebijakan Beijing terhadap minoritas di China.
Dua pejabat lain juga dikenai sanksi – Wang Mingshan, direktur biro keamanan publik di Xinjian dan Zhu Hailun, mantan pemimpin komunis senior di Xinjiang.
Sanksi ini berarti mereka dilarang masuk ke AS dan aset mereka di AS dibekukan.
Segala transaksi keuangan dengan tiga pejabat itu, bersama dengan mantan pejabat keamanan Huo Liujun, tak diperbolehkan. Namun demikian, Huo tidak akan dikenakan pembatasan visa.
Sanksi juga diberlakukan pada anggota Biro Keamanan Xinjiang secara keseluruhan.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan AS juga memberlakukan pembatasan visa tambahan pada pejabat Partai Komunis lainnya yang diyakini bertanggung jawab atas pelanggaran di Xinjiang.
Anggota keluarga mereka kemungkinan juga dikenai sanksi pembatasan visa tersebut.
Ketegangan antara kedua negara kian memanas karena pandemi virus dan keputusan China memberlakukan undang-undang keamanan nasional di Hong Kong.
Sebelumnya, pada akhir Juni lalu, Washington memberlakukan pembatasan visa terhadap pejabat Partai Komunis China yang diyakini bertanggungjawab merongrong kebebasan di Hong Kong.
Pompeo meyebut target dari sanksi tersebut adalah orang-orang partai yang “saat ini dan sebelumnya” menjabat.
Dia menjelaskan langkah ini ditempuh setelah Presiden AS Donald Trump berjanji untuk memberi sanksi bagi Beijing atas pemberlakuan Undang-Undang (UU) Keamanan yang bisa menggerus otonomi Hong Kong.
Apa yang dilakukan China di Xinjiang?
Kelompok-kelompok pegiat HAM mengatakan satu juta Muslim telah ditahan di kamp-kamp penjara keamanan tinggi di provinsi Xinjiang.
Tahun lalu, BBC mendapatkan dokumen yang menunjukkan 15.000 orang dari Xinjiang selatan dikirim ke kamp-kamp hanya dalam satu pekan.
Dokumen yang sama menunjukkan bahwa tahanan dapat dibebaskan hanya ketika mereka “memahami secara mendalam sifat ilegal, kriminal, dan berbahaya dari aktivitas masa lalu mereka”.
Pihak berwenang Cina mengatakan orang-orang Uighur dididik di “pusat-pusat pelatihan kejuruan” untuk memerangi ekstremisme agama yang kejam.
Namun bukti menunjukkan banyak yang ditahan hanya karena mengekspresikan iman mereka – misalnya, berdoa atau mengenakan kerudung – atau karena memiliki koneksi luar negeri ke tempat-tempat seperti Turki.
Uighur, yang sebagian besar penduduknya beragama Muslim, merupakan 45% dari populasi Xinjiang.
Bulan lalu sebuah laporan oleh cendekiawan China Adrian Zenz menemukan China memaksa perempuan di Xinjiang untuk disterilkan atau dilengkapi dengan alat kontrasepsi.
Laporan tersebut telah mendorong desakan internasional agar PBB menyelidiki temuan tersebut.
Dari berbagai sumber/matahukum/rid