27.4 C
Jakarta
17.10.2025
Mata Hukum
Home » Kejaksaan Negeri Sanggau Dirikan Posko Keadilan Perempuan, Anak dan Penyandang Disabilitas
HukumNews

Kejaksaan Negeri Sanggau Dirikan Posko Keadilan Perempuan, Anak dan Penyandang Disabilitas

“Kajari Sanggau, Dedy Irwan Virantama: Maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang viral melalui media sosial akhir akhir ini menjadi perhatian publik. Kondisi ini menunjukkan bahwa persoalan kekerasan berbasis gender bukan lagi isu tersembunyi, melainkan darurat”

Mata Hukum, Jakarta – Untuk menciptakan rasa keadilan bagi semua lapisan masyarakat, Kejaksaan Negeri Sanggau dirikan posko keadilan perempuan, anak dan penyandang disabilitas.

Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Sanggau, Dedy Irwan Virantama menyampaikan keadilan tidak boleh berhenti di ruang formal, namun harus menjelma menjadi pengalaman nyata, yang dapat dirasakan hingga ke akar kehidupan masyarakat, terutama bagi mereka yang selama ini dipinggirkan, ditinggalkan maupun dilupakan.

Kepala Kejaksaan Negeri Sanggau, Dedy Irwan Virantama

Menurut Dedy, dalam Asta Cita Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, khususnya cita keempat ditegaskan pembangunan sumber daya manusia harus mencakup pendidikan, kesehatan, kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan dan kelompok rentan.

“Posko ini hadir sebagai wujud nyata dari komitmen kami. Bukan hanya sebagai tempat layanan hukum, tetapi juga sebagai ruang aman yang memungkinkan setiap individu merasa didengar, dilindungi dan diberdayakan. Tempat di mana keberanian untuk melapor tidak dibalas dengan keraguan, dan proses hukum tidak menjadi beban baru bagi korban,” ungkapnya di momen peresmian Posko Akses Keadilan Perempuan, Anak, dan Penyandang Disabilitas, Selasa 22 April 2025.

Bagi korban, lanjut Dedy, keadilan tidak hanya soal putusan pengadilan, tetapi tentang bicara tanpa takut dan didampingi tanpa dihakimi.

“Akhir-akhir ini, kita menyaksikan maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di berbagai wilayah Indonesia, yang viral melalui media sosial dan menjadi perhatian publik. Kondisi ini menunjukkan bahwa persoalan kekerasan berbasis gender bukan lagi isu tersembunyi, melainkan darurat yang harus kita hadapi bersama,” jelasnya.

“Apa yang muncul ke permukaan hanyalah sebagian kecil dari realitas yang lebih luas. Di daerah kita sendiri, dalam dua tahun terakhir, Kejaksaan Negeri Sanggau mencatat puluhan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak,” sambung dia.

Diungkapkannya, pada tahun 2024, tercatat 19 perkara Perlindungan Anak, 3 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga, 3 perkara asal-usul perkawinan, 2 kasus pencabulan, 1 kasus pemerkosaan. Sementara di tahun 2025, hingga saat ini, terdapat 6 perkara Perlindungan Anak, 1 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga, 1 perkara asal-usul perkawinan, dan 1 kasus pemerkosaan.

“Angka-angka ini mungkin terlihat menurun, tetapi kita semua tahu, ini hanyalah puncak gunung es. Masih banyak kasus yang tidak tercatat, karena korban takut, bingung, atau tidak tahu harus bicara kepada siapa. Di balik setiap angka, ada keberanian yang ditahan. Ada luka yang dipendam sendirian,” kata Dedy.

Orang nomor satu di jajaran Korps Adhyaksa Bumi Daranante ini menambahkan, dalam konteks penyandang disabilitas, tantangan yang dihadapi tidak kalah berat. Selain risiko kekerasan yang kerap luput dari sorotan, mereka juga menghadapi hambatan berlapis, baik secara fisik, komunikasi maupun pemahaman aparat terhadap kebutuhan khusus.

“Posko ini dirancang untuk menjadi ruang yang inklusif dan adaptif, agar penyandang disabilitas pun mendapatkan perlindungan dan akses keadilan yang setara. Melalui posko ini, kami ingin menegaskan bahwa bukan sekadar simbol, melainkan jawaban dan janji bahwa setiap perempuan, anak, dan penyandang disabilitas punya hak yang sama untuk didengar dan dilindungi,” jelasnya.

Kajari Sanggau menyebut layanan keadilan harus bebas hambatan, baik fisik, psikologis, maupun sosial. Mereka yang selama ini sunyi bukan hanya perlu didorong untuk bersuara, tetapi mesti diberi akses dan ruang aman.
Dan lembaga keadilan perlu memiliki kapasitas dan sensitivitas yang sesuai dalam menangani kasus-kasus berbasis gender dan kerentanan.

“Saya percaya bahwa keberpihakan terhadap kelompok rentan bukan bentuk ketidaknetralan. Justru disitulah letak tanggung jawab moral kita yang sejati.
Kolaborasi adalah kuncinya. Karena itu, kami menyadari pentingnya mendengar dan melibatkan mereka yang selama ini bekerja langsung di lapangan, mendampingi, menyuarakan, dan memperjuangkan keadilan dari sisi yang paling dekat dengan realitas.
Keberanian pemerintah untuk membuka ruang kolaborasi dengan mereka yang memahami realitas ini bukan kelemahan, melainkan tanda kepemimpinan yang kuat dan visioner,” terangnya.

Berita Terkait

Respon Pertemuan Megawati Semeja dengan SBY, Politisi PDIP: Ibu Konsisten Membumikan Pancasila

Farid Bima

Penyusup Terobos Pangkalan Air Force One

iien soepomo

Panlima TNI Dorong Pembangunan Rusun untuk Prajurit Kogabwilhan I Secepatnya Rampung

Farid Bima

Leave a Comment