Namun sekecil apa pun angka keracunan tidak bisa diperlakukan sekadar statistik. Satu nyawa adalah tanggung jawab negara, seperti dinyatakan pada Pembukaan UUD 1945.
Mata Hukum, Jakarta — Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang digadang-gadang jadi solusi gizi anak bangsa, kini jadi ladang petaka. Hingga 2 Mei 2025, lebih dari 500 siswa di berbagai daerah Indonesia terkapar akibat keracunan makanan MBG.
Data mencatat rentetan kasus keracunan: Nganjuk (4 Oktober 2024), Sukoharjo (17 Januari 2025, 40 siswa), Nunukan (19 Januari 2025), Pandeglang (21 Februari 2025), Waingapu (24 Februari 2025, 29 siswa), Batang (14 April 2025, 60 siswa), Cianjur (21 April 2025, 78 siswa, ditetapkan KLB), hingga puncaknya di Bandung (1 Mei 2025, 342 siswa SMPN 35 dan 2 guru).
Gejala keracunan MBG seragam: mual, muntah, diare dan sakit perut. Penyebabnya: sajian MBG yang basi—ayam berbau, nasi berlendir atau sayur busuk.
Badan Gizi Nasional (BGN) tampak kalang kabut. BGN berjanji menyelidiki, melibatkan Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Dinas Kesehatan.
Kepala BGN Dadan Hindayana mengklaim tingkat keracunan akibat program MBG di Cianjur hanya 0,5 persen, meskipun kasus ini ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
Namun sekecil apa pun angka keracunan tidak bisa diperlakukan sekadar statistik. Satu nyawa adalah tanggung jawab negara, seperti dinyatakan pada Pembukaan UUD 1945.
Untuk kasus Cianjur, hasil laboratorium masih ditunggu, tapi BGN bersikukuh tak mau berspekulasi. Mereka bilang akan perketat SOP, awasi vendor dan pastikan makanan layak.
Guru di Kupang melaporkan menemukan makanan basi sebelum disajikan, sementara di Bandung, siswa dipaksa makan meski aroma busuk tercium. Ini bukan kelalaian biasa—ini kegagalan sistemik.
Reaksi publik membara. Indonesia Corruption Watch menuntut MBG dihentikan, menyebut kualitas makanan di bawah standar dan pengawasan ala kadarnya. Ketua DPR Puan Maharani mendesak evaluasi menyeluruh, sementara Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar menyoroti buruknya koordinasi. Netty Prasetiyani, anggota Komisi IX, menuding pengelolaan MBG amburadul dari hulu ke hilir. “Jangan main-main dengan gizi anak!” tegasnya. Bahkan warga biasa, seperti orang tua siswa di Cianjur, mengaku trauma dan ogah anak mereka ikut MBG lagi.
Pertanyaan besar menggantung: apakah MBG layak dipertahankan?
Program dengan anggaran triliunan ini tak boleh jadi eksperimen berisiko. Menghapus MBG sepenuhnya mungkin terlalu drastis—tujuannya mulia, menjamin gizi anak-anak miskin. Tapi model saat ini, dengan distribusi makanan jadi yang rawan basi, jelas bermasalah. Pengawasan vendor lemah, logistik buruk dan standar higiene nyaris absen. Evaluasi total tak bisa ditawar. Pemerintah harus berani rombak sistem: ganti vendor tak becus, libatkan ahli gizi independen dan pastikan rantai distribusi dingin berfungsi.
Alternatif lain, seperti voucher pangan atau distribusi bahan makanan langsung ke keluarga, patut dipertimbangkan.
BGN dan pemerintah tak bisa terus berdalih. Anak-anak bukan kelinci percobaan untuk program ambisius yang dikelola asal-asalan. Ini bukan soal biaya, tapi nyawa dan keselamatan anak-anak. Agar siswa-siswa Indonesia, anak-anak kita, tidak jadi korban berikutnya.
berbagai sumber/jotz