28.7 C
Jakarta
10.10.2025
Mata Hukum
Home » Prabowo Tarik Utang Baru Rp 775,86 T di 2025, Lebih Besar Ketimbang 2024, dan Rakyat Kena PPN 12%
News

Prabowo Tarik Utang Baru Rp 775,86 T di 2025, Lebih Besar Ketimbang 2024, dan Rakyat Kena PPN 12%

Ekonom senior mendiang Faisal Basri mengatakan pengelolaan anggaran pemerintah tidak menunjukkan perubahan paradigma dari tahun ke tahun sehingga mengakibatkan beban bunga utang yang semakin meningkat.

Mata Hukum, Jakarta — Pemerintah masih tidak mampu menghindar dari utang. Siapa pun presiden negara ini terbukti hanya mampu melempar janji manis kampanye dan berteriak kosong bahwa pemerintahannya tidak akan berutang.

Presiden Prabowo Subianto resmi menetapkan Peraturan Presiden Nomor 201 Tahun 2024 tentang rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2025. Di dalamnya termuat desain penarikan utang baru untuk menutup defisit APBN 2025 yang senilai Rp 616,18 triliun.

Dalam Lampiran VII Perpres 201/2024 penarikan utang atau besaran pembiayaan utang Prabowo tetapkan senilai sebesar Rp 775,86 triliun pada 2025. Nilai itu naik sekitar 19,71% dibandingkan dengan target tahun 2024 yang sebesar Rp 648,1 triliun.

“Pergeseran rincian Pembiayaan Anggaran dan penggunaannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan,” dikutip dari Pasal 7 Perpres 201/2024.

Dalam lampiran itu, Prabowo merincikan pembiayaan utang terdiri dari penerbitan SBN neto sebesar Rp 642,56 triliun. Nilai itu cenderung lebih rendah dibandingkan target penerbitan SBN pada 2024 sebesar Rp 666,4 triliun.

Selain SBN, pembiayaan utang juga berasal dari Pinjaman neto yang senilai Rp 133,3 triliun, naik dari target 2024 senilai Rp 18,4 triliun. Pinjaman itu terdiri dari Pinjaman Dalam Negeri (Bruto) sebesar Rp 11,77 triliu, yang sigunakan untuk pembayaran cicilan pokok sebesar Rp 6,6 miliar, dan yang digunakan hanya senilai Rp 5,17 triliun.

Lalu, Pinjaman Luar Negeri (Neto) Rp 128,13 triliun. Terdiri dari Pinjaman Tunai Rp 80 triliun, Pinjaman Kegiatan Rp 125,52 triliun untuk kementerian/lembaga (K/L) pusat, Rp 1,59 triliun untuk kegiatan yang diteruskan dalam bentuk hibah, dan Pinjaman ke BUMN/Pemda: Rp 9,3 triliun. Total ini dikurangi pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp 88,36 triliun.

Total pembiayaan utang juga akan dikurangi untuk keperluan pembiayaan investasi senilai Rp 154,50 triliun, dan pemberian pinjaman senilai Rp 5,44 triliun. Namun, ada tambahan dari pembiayaan lainnya berupa hasil pengelolaan aset senilai Rp 262 miliar.

“Maniak berutang”

Agustus lalu, ekonom senior mendiang Faisal Basri mengatakan pengelolaan anggaran pemerintah tidak menunjukkan perubahan paradigma dari tahun ke tahun sehingga mengakibatkan beban bunga utang yang semakin meningkat.

Dalam RAPBN 2025, pemerintah kembali menghadapi defisit keseimbangan primer (primary balance) yang memaksa negara untuk terus berutang guna membayar bunga utang. Rakyat yang kena getah, PPN dinaikkan jadi 12 persen. Sebaliknya kelompok kaya bakal diservis dengan pengampunan pajak jilid 3.

Sejak 2014 atau saat Jokowi pertama kali menjabat presiden, defisit primary balance Indonesia sudah menunjukkan tren yang memburuk. Pada 2020, defisit mencapai titik terendah sebesar Rp633,6 triliun, diikuti oleh defisit besar lainnya pada 2021 yang mencapai Rp431,6 triliun. Meskipun ada sedikit perbaikan pada 2023 dengan surplus tipis Rp2,6 triliun, kondisi ini tidak bertahan lama karena pada 2024 dan 2025 kembali diproyeksikan defisit, masing-masing Rp110,8 triliun dan Rp63,3 triliun.

Keseimbangan primer atau primary balance adalah indikator penting dalam pengelolaan fiskal yang menunjukkan perbedaan antara pendapatan pemerintah dengan pengeluaran sebelum pembayaran bunga utang. Ketika keseimbangan primer menunjukkan defisit, artinya negara harus mengambil utang baru hanya untuk membayar bunga dari utang sebelumnya.

Menurut Faisal, kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena menunjukkan ketergantungan yang berkelanjutan pada utang baru.

Data yang dipaparkan Faisal menunjukkan pembayaran bunga utang terus meningkat, mencapai Rp552,9 triliun dalam RAPBN 2025. Angka ini naik signifikan dari Rp499,0 triliun pada tahun sebelumnya. “Peningkatannya 274 persen. Bayangkan, sekarang sudah mencapai 20,3 persen dari belanja pemerintah pusat,” kata Faisal kala itu.

Faisal juga menyoroti peningkatan beban bunga ini telah menggerus ruang fiskal yang seharusnya bisa digunakan untuk membiayai program-program produktif lainnya. Kondisi ini pun dia sebut mencerminkan kegagalan pemerintah dalam melakukan perencanaan anggaran yang berkelanjutan. “Ruang fiskalnya makin nyempit buat yang lain-lain,” kritiknya.

Situasi ini, menurut Faisal, harus segera diatasi dengan perubahan paradigma dalam pengelolaan fiskal dan utang negara. Jika tidak, pemerintah akan terus terjebak dalam siklus utang yang semakin membebani anggaran dan membahayakan stabilitas ekonomi jangka panjang.

“Maniak berutang gitu,” katanya.

arj/haa/cnbc/mrap/tempo

Berita Terkait

Korem 172/PWY Gelar Komsos Wujudkan SDM KBT Berkualitas

Farid Bima

Ada Rupiah, Ini 10 Mata Uang Terlemah di Dunia

Farid Bima

Kejaksaan Geledah Sejumlah Tempat Terkait Korupsi di Kementerian Komdigi yang Rugikan Negara Ratusan Miliar

Farid Bima

Leave a Comment