25.10.2025
Mata Hukum
Home » Seniman, Gubernur dan Ruang Budaya yang Hampir Punah
DaerahNews

Seniman, Gubernur dan Ruang Budaya yang Hampir Punah

Gubernur Yulius adakan malam keakraban dengan seniman dan budayawan Sulut. Mereka diskusi hingga dini hari. Sikap kritis seniman dan budayawan Sulut ini wajar: komitmen verbal rawan pudar tanpa alokasi APBD 2026.

Mata Hukum, Manado – Berawal dari rasa keprihatinan seniman dan budayawan Sulawesi Utara, Gubernur Yulius Selvanus tergerak untuk membenahi ruang budaya Bumi Nyiur Melambai.

Bukan itu saja. Malam itu, Selasa (21/10), di balik senyum hangat dan tarian tradisional pada malam keakraban di Wisma Negara Bumi Beringin, Manado, sebenarnya menyimpan ketegangan mendalam.

Acara yang berlangsung hingga pukul 02.30 dini hari ini bukan sekadar pesta, melainkan arena konfrontasi atas isu alih fungsi Taman Budaya Manado menjadi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU)—sebuah rencana yang memicu protes massal dan mengancam identitas budaya “Bumi Nyiur Melambai”.

Dengan latar belakang militer, Yulius menjanjikan reformasi. Tapi apakah ini cukup untuk menyelamatkan warisan yang terancam punah?

Acara, diselenggarakan Biro Protokoler Pemprov Sulut, dihadiri puluhan seniman dan budayawan.

Dimulai dengan makan malam, suasana cair lewat atraksi seni: Gubernur membaca puisi bersama Aldes Sambalao, diiringi gitar Welly Pangkey, serta menari Masamper dan Pato-pato—tarian yang melambangkan persatuan dan kegembiraan masyarakat Sulut.

Namun, inti acara malam itu adalah dialog tertutup sejak pukul 21.30 hingga dini hari pukul 02.30 WITA, membahas sembilan tuntutan dari Gerakan Seniman dan Budayawan Sulut (GEMAS).

Berikut sembilan Tuntutan Demonstraksi Seniman Budayawan Sulawesi Utara.

-1. Menuntut Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara mengembalikan Taman Budaya sesuai tujuan dan fungsinya demi mewujudkan mandat pemajuan kebudayaan sebagaimana isi UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

-2. Menuntut Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara membangun Gedung Kesenian “Pingkan Matindas” sebagai beranda kesenian representatif lengkap dengan ruang pementasan, art gallery serta berbagai fasilitas penunjang untuk menampilkan kekayaan seni budaya modern dan tradisional Sulawesi Utara yang luhur dan adiluhung.

-3. Menuntut Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara segera menyelesaikan segala masalah dan kendala agar dokumen Pokok-Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) Provinsi Sulawesi Utara dapat segera dituntaskan.

-4. Menuntut Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara segera menuntaskan Peraturan Daerah Pemajuan Kebudayaan sebagai satu dokumen acuan strategis
pemajuan kebudayaan di Sulawesi Utara.

-5. Menuntut Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara merancang dan melaksanakan Pekan Seni Budaya Tahunan untuk semua cabang kesenian: seni
sastra, seni teater, seni rupa, seni tari, seni musik, seni film dan fotografi, dan seni tradisional.

-6. Menuntut Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara mengalokasikan dana program pengembangan kesenian melalui Dewan Kesenian Provinsi Sulawesi Utara, kepengurusan hasil musyawarah seniman yang sah.

Alokasi dana dimaksud berasal dari sumber-sumber pembiayaan kebudayaan pemerintah yang tersedia, dan dari sumber lainnya atas upaya fasilitasi Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara.

-7. Menuntut Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara menempatkan pejabat berkompeten pada instansi teknis Dinas Kebudayaan yang memiliki komitmen
dan kompetensi dalam menjabarkan dan melaksanakan visi-misi kebudayaan daerah, dan nasional.

-8. Menuntut Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara agar mendukung dan memfasilitasi berbagai bentuk pembelajaran dan pewarisan nilai budaya lewat penguatan pelaksanaan FLS3N.

-9. Menuntut Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara membentuk Tim Asistensi Khusus multi pihak, yang melibatkan seniman dan budayawan Sulawesi Utara, untuk mengawal perwujudan semua tuntutan yang dirumuskan secara bersama ini.

Taman Budaya Manado, 16 Oktober 2025,
A.n. Peserta Demonstraksi Taman Budaya,

Koordinator Gerakan Seniman & Budayawan Sulut: Alfred Pontolondo

Koordinator Lapangan: Aldes Sambalao

Juru Bicara: Eric Dajoh

Yang mengelaborasi isi tuntutan sesuai poin tuntutan:

  1. Pitres Sombowadile
  2. Aldes Sambalao
  3. Opa Alex Ulaen
  4. Bang Reiner Ointoe
  5. Achi Talanggai
  6. Merdeka Gedoan
  7. Sofyan Yosadi
  8. Deny Taroreh
  9. Rikson Karundeng

Tuntutan ini lahir dari krisis: sejak 1 Oktober 2025, beredar kabar alih fungsi lahan Taman Budaya di Jalan Maengket 31, Wanea, Manado, menjadi SPBU. Ini memicu aksi “Panggung Kebudayaan: Taman Budaya adalah Rumah Kita” pada 16 Oktober, di mana ratusan seniman menyampaikan protes damai lewat puisi, musik, dan tarian. Mereka menolak rencana itu sebagai “musibah kebudayaan”, karena Taman Budaya—dengan Gedung Pertunjukan Pingkan Matindas—adalah pusat pelestarian warisan. Wakil Gubernur Victor Mailangkay menerima tuntutan tersebut, berjanji tindak lanjut, tapi keterlibatan Yulius dua hari kemudian menandai eskalasi.

Dalam dialog, Yulius tegas membantah rumor: “Itu tidak benar. Komitmen kami sejalan dengan arahan Presiden, memajukan pariwisata Sulut yang erat dengan kebudayaan.”

Ia janji pertahankan Taman Budaya, renovasi Gedung Pingkan Matindas dan Gedung Pramuka sebagai pusat seni, serta bangun museum di Lawangirung. Lahan sekitar akan diatur untuk UMKM dan olahraga, dengan SPBU tetap aset pemerintah.

Yulius bahkan siap gunakan dana pribadi jika anggaran terbatas, menantang seniman ikut susun Perda Pemajuan Kebudayaan dan Pokok-Pokok Pikiran Daerah (PPKD).

Acara keakraban selesai namun diskusi Gubernur dengan para seniman meluas ke banyak hal sehingga dilanjutkan secara tertutup hingga dini hari pukul 02.30 WITA. Kabarnya mereka membahas korupsi, mafia tanah, pembenahan ASN, dan pemetaan aset—menunjukkan kebudayaan tak lepas dari tata kelola buruk.

Sejak dilantik menjadi Gubernur Sulut ke-18 pada Februari 2025, Yulius selalu mengumandangkan visi pariwisata berbasis budaya. Namun kritik muncul: apakah latar militer membuatnya lebih fokus disiplin daripada kreativitas?

Reaksi seniman positif tapi tajam. Sofyan Jimmy Yosadi: “Gubernur tunjukkan ketulusan, tapi kami butuh aksi nyata.” Pitres Sombowadile sebut ini “hulu semangat baru”, tapi soroti keterlambatan respons.

Sikap kritis seniman dan budayawan Sulut ini wajar: komitmen verbal rawan pudar tanpa alokasi APBD 2026. Dialog ini bisa jadi model kolaborasi, tapi akan gagal jika pemerintah tidak memahami pentingnya keberadaan ruang budaya masyarakat. Di era pasca-pandemi, kebudayaan sering kalah prioritas dari ekonomi. Padahal pariwisata budaya bisa jadi mesin pendapatan, seperti festival Bunaken.

Pada akhirnya, malam itu membuktikan bahwa kebudayaan Sulut bukan aksesori, tapi pondasi identitas. Yulius punya kesempatan ubah narasi, tapi masyarakat harus kawal: janji dini hari jangan lenyap saat fajar. Jika gagal, ini bukan sekadar kehilangan taman, tapi erosi jiwa bangsa.

Jotz/DR

Berita Terkait

Sorot Pembangunan IKN, Kalangan DPR: Jangan Jadi Ambisi dan Beban Jangka Panjang Bagi Negara

Farid Bima

Kapolri Pimpin Kenaikan Pangkat untuk 45 Pati Polri, Hengki Haryadi Resmi Sandang Bintang Satu

Farid Bima

Kejaksaan Agung Tahan Para Tersangka Kasus Kredit 3 Bank BUMD untuk Sritex yang Rugikan Negara 1 Triliun Lebih

Farid Bima

Leave a Comment